Masih di atas panggung si putri yang baru disematkan mahkota meliriknya. Spontan hendaknya sebuah kesempatan emas tidak akan disia-siakan.
Kedipan mata dilesatkan. Aura berbalas dari sasaran cukup bisa jadi pegangan. Senyumnya merekah. Si Putri keliru gerak, saat sadar hatinya terpikat.
Di sebuah Cafe megah metropolitan cintanya diterima. Ia pun lekat menggandeng tangannya.
Tak lama setelahnya, ke pusat kota sejoli bertamasya. Dua buah cincin permata terpasung di jari manis. Dari jutaan model baju pengantin telah terpilih sepasang. Di hadapan penghulu kedua keturunan Adam-Hawa dihalalkan, sah sudah disebut pasangan.
Keduanya bermandi keringat bahagia diatas ranjang empuk berharum kasturi. Benih-benih berlonjakan di pekarangan. Tertawa ceria, berlarian di halaman. Istana megah telah lengkap penghuni.
Karena harkatnya dinilai semakin terpandang pada pukul 12:20, ia berhak duduk sejenak dengan penguasa yang sebentar lagi pensiun. Ia diundang.
Di kursi panasnya Penguasa tertegun. Raut muka yang tertekan dengan tubuh kerempengnya yang sudah sedikit lebih tambun melemparkan curahan hati.
Darinya penguasa meminta arahan merawat muka. Layaknya cara seorang Pekebun kopi penuh daki mampu menaklukkan hati sang putri.
Sebagai balas budi, tentu hal serupa dengan mitra lainnya, dirinya akan diberi harta, tahta dan wanita kalau ingin poligami.
Intinya, kepadanya penguasa minta strategi, agar kursi tidak minggat ke lain pantat. Kalau bisa hingga menegosiasi pemegang pena pengabulan, supaya kursi sakti jadi miliknya sampai kiamat.
Mendengar itu ia menganga luar biasa, seakan kepalan manusia dewasa longgar disumpel ke rongga mulutnya. Secepatnya mengira-ngira kemungkinan yang bisa.