Lantas, demi mencapai tujuan baru itu pada pukul 12:25 siang itu juga langsung terbang ke kampung halaman.
Tidak jauh dari tempatnya mengukir sukses tadi ia melakukan pengamatan. Berbaur dengan mangsa dilakukan. Tujuannya disamarkan.
Pada pemimpin lingkungan ia pertama  kali bersalaman. Tidak ada yang benci aksinya. Tentu bukan sebab bualan janji-janji saja pintu dibuka, sekalipun ia produk lokal. Sebungkus rokok dan sekilo beras musabab utama basa-basinya didengarkan.
Kepulan demi kepulan asap telah dihembuskan. Satu persatu lintingan mengosongkan bungkusan yang ia bawa. Ruangan kian temaram, serupa disemuliti kabut. Perlahan kepalanya pusing. Jidatnya berat, seolah hendak jatuh.
Ia mengeleng-gelengkan kepala, keheranan. Orang-orang asalnya masih saja belum maju dari kebiasaan yang belum ada legalisasi dari negerinya. Ternyata separuh tembakau rokok dikosongkan, dibuang sekenanya. Ruang yang sudah longgar diganti dengan racikan mirip tembakau, tapi berwarna hijau. Ia tau setelah ada yang menawarkan padanya.
Dalam hatinya ia bertanya-tanya, kapan daerah asalnya akan sejahtera.
Sebab ia telah tahu, orang luar penampung barang haram dari kebun mereka itu sudah berniat tidak lagi menukarnya dengan uang, tapi garam yang berasal dari cina. Yang mana hanya sebatas kenikmatan sesaat untuk kemudian menggerogoti tubuh dan jiwa dengan buas. Itu saja. Tidak lagi bisa digunakan untuk membeli beras. Kecuali sementara dengan menipu tetangga. Sama halnya dengan membunuh sesama.
Pantas kalau tandan pisang di halaman bisa lenyap seketika dari pohonnya. Peralatan dapur ibu tiba-tiba entah ke mana.
Kembali ia mengeleng-gelengkan kepala, bukan lagi keheranan. Tapi asap rokok yang mengandung zat tetrahidrokanabinol dari orang-orang yang berusaha dicerahkannya--agar memilih calon penguasa yang akan menguntungkan perutnya.
Tepat pukul 12:30 ia kelimpungan menahan tubuhnya, mulai goyah dari duduknya.
"Makanya jangan megang Hp dulu."