"Kau tau, belakangan ini setiap malam Ju'mat selalu hujan," bukaku suatu hari menjelang senja.
"Saya tau, kita kan hanya terpisah kiloan meter."
"Senja ini indah ya? Tidak seperti malam Jum'at sebelumnya."
"Iya. Indah," putusmu tersenyum. Samar, memar. Memaksakan diri ria. Kuakui usahamu.
"Ini malam Jum'at pertama kita bersama, adakah kisruh di hatimu?"
Kau menatapku, tajam, meminta penjelasan lanjut.
"Sudah. Lupakan," tutupku sepihak. Aku tak mau cideramu bertambah.
Lima hari yang lalu kau meminta kepastian janjiku. Aku memikirkan panjang lebar atas tindakanmu. Mungkin saja kita akan bahagia. Tapi, bagaimana orang tuamu, orang tuaku?
"Aku bosan di keluarga ini. Cepat datang. Bawa aku," pintamu muak.
Aku menggeleng, keheranan. Setelah semua yang dilakukan keluargamu---yang perempuan lain belum tentu dapat. Lantas secepat itu kau mengutuk. Apa yang salah D?
"Bukan aku tak mau. Nanti keluargamu murka."
"Lebih baik murka karena kesalahanku daripada karena sadar dari kesalahan mereka sendiri."
"Maksudmu D?"
"Mau atau tidak? Atau... aku akan lari dengan orang lain K."
Meski suaramu dari seberang keruh, akibat hidup sinyal selalu dirundung galau, hidup sekarat matipun tidak, kata-katamu telah membuat otakku berputar cepat. Menghitung rugi kalau kau pergi dan laba jika kita bersama. Air mataku jatuh D.
Sungguh tidak dapat ditarik lagi saat Anak panah telah dilepas dari Busurnya. Kau tahu yang kita lakukan. Mungkin adat lain, di belahan bumi seberang masih bisa diulur hingga dibatalkan, di sini tidak D.
Tokoh adat dari pihakku dan kamu terpaksa berembuk hebat. Menyelesaikan masalah yang kita perbuat. Hatiku menunggu ragu. Tentu penyelesan sudah hinggap di benakku, mungkin juga kamu.
Biasanya pemecahan adat seperti pelarian kita akan bertemu titik terang pada satu babak. Tidak untuk kita. Tokoh adat sudah dua kali adu mulut di kampung tembunimu. Belum kelar. Kali ini berpindah kedudukan di kampungku, tepat di hari ketiga kita berbuat nekat lalu. Kalau kau tau prosesi adat paling rumit, pertemuan ketiga ini akan menemui titik terang, dengan segala kerawanan rusuhnya.
Aku sudah diungsikan ke pondok sawah, demi menghindari ketegangan yang hinggap ke telingaku. Walaupun kenyataannya aku sudah kenyang, kata-kata umpatan dari keluargaku telah berhasil menghalang rasa lapar. Kata sepupuku sebab itu aku diasingkan sementara, takut jika kalap.
Semula sepupuku yang menemaniku di pondok sawah berada di Balai Adat Kampungmu, saat pertemuan pertama dan kedua. Darinya aku tau, keluargamu meminta tembusan dengan nama disamarkan adat, yang mustahil disanggupi keluargaku. Sesuatu yang sudah kuduga sebelumnya---karena pendidikanmu telah membedakan dari perempuan kebanyakan. Kau sudah tidak dipantaskan bersanding denganku.
Membayangkan Pedang bapak yang dibawa paman ke Balai Adat kian membuat hatiku ngilu, meskipun itu bersarung. Pedang itu digunakan sebagai simbolis, bahwa tokoh adat pihakku tidak sanggup lagi menanggapi tawaran dari tokoh adat pihakmu. Artinya adatku telah menetapkan tawaran tertinggi, yang itu pun nantinya akan sangat sulit mengabulkannya, kalau tokoh adatmu tidak terima biar pedang itu menyelesaikan kesalahan yang kita buat. Apa tidak menakutkan menurutmu D?
"Tak ada yang hendak bermain api. Apa mau dikata kalau bara telah diinjak. Wali seorang anak adalah bapaknya. Dengan memohon ridho dari yang Kuasa dan meminta maaf dari saudara. Karena Anak kami telah mencipta petaka. Dengan Pedang ini kami telah melampaui kemampuan. Mohon kiranya adat menerima." Kata-kata seperti itu biasanya memutus tawar-menawar pembayaran yang tidak bisa disepakati secara damai. Konon pendahulu kita telah ada berperang pada kejadian serupa. Napasku sesak membayangkan yang tidak-tidak.
Aku sangat bersyukur bencana itu tidak terjadi. Pikirku adatmu bukan lagi adat batu. Belum tentu perkara selesai jika kedua adat bertukar posisi.
Aku belum bisa mengakui semua yang kita lakukan sebagai perjuangan cinta. Walaupun akad nikah telah diaminkan kedua belah pihak, restu dari walimu, mertuaku sudah kudengar. Sebab aku tak hendak menemuimu layaknya malam ini, D tersenyum walaupun hatinya bergemuruh. Jasadmu bisa kupeluk, namun aku mau bertanya, di manakah hatimu, istriku?
Kau bangun lebih awal, menyiapkan segala sesuatu layaknya mantu baru pada umumnya. Lama kau menatap wajahmu yang digambarkan cermin. Kedut matamu sebagai pengakuan kalau tidurmu tidak nyenyak.
"Ada apa D, pagi-pagi sudah berdandan?"
"Aku akan ikut tes tulis pegawai tidak tetap pemerintah."
"Kenapa buru-buru."
"Tiga tahun itu lama lo K," sangkalmu, mengungkit sudah berapa lama kau jadi Sarjana pengangguran.
Aku hanya mengangkat alis, sebagai tanda mendukung perjuanganmu.***
Sudah petang aku kembali. Kau pun sudah pulang. Dugaanku kau belum merasa tenang, walaupun mengakui tes tulisnya lancar jaya.
"Bentar lagi aku akan jadi suami yang paling bangga sedunia D," bukaku sambil menyungging senyum.
"Kenapa K?"
"Karena setiap pagi istriku akan berdandan. Memakai seragam pergi ke kantor. Tidak seperti petani lain ikut ke ladang."
"Mau kubuatkan kopi?"
"Kopi?"
"Agar ngaurnya hilang."
Aku tertawa.
"K mikirnya kejauhan."
"Kejauhan?"
"Aku sudah puluhan kali ikut tes,yang ikut ada dua puluh ribuan, diterima hanya dua ratusan. Kerja kantoran itu tidak mudah. Katanya saja pegawai pemerintah tidak disusupi politik, pegawai swasta tidak berbau nepotisme. Padahal... Â Pokoknya tidak mudahlah."
"Nuduh sembarangan."
"Makanya, jangan mabok."
Suasana ini yang membuatku mau berbuat nekat---menikahimu secara paksa. Boleh saja semua mata menilai kita berbeda, bahkan mataku, tapi hatiku tidak bisa menjauhimu. Kau suka selengean, jagonya membuat hati bahagia.
"K dari mana saja tadi?"
"Dari kuburan."
Aku baru saja pulang menggali kuburan. Pagi tadi kampung dibuat geger oleh ulah Almarhumah gadis tiga puluh dua tahunan yang gantung diri di kamarnya, M namanya.
"Aku tau apa yang dirasakan M itu berat."
"Sok tau," protesku.
"Bibik sudah cerita tadi."
Kalau bibik yang cerita aku mengangguk saja. Adik bapakku itu suka sekali cari tau dan cerita urusan orang.
Dari cerita bibik kau mengaku, M sebenarnya gadis yang ditinggikan derajatnya, bersekolah tinggi. Aku tau itu. Namun diusianya yang sudah ketiga puluh dua tahun ia belum menikah. Bukan tidak ada yang melamarnya. Sudah puluhan kali. Hanya saja keluarganya belum menemukan sesuai kehendak, mantu yang berseragam. Lebih mirisnya, sudah selama itu umurnya ia masih menyandang jabatan pengangguran.
M malu jadi pengangguran, tapi lebih malu jika ditanya orang kapan ia akan melepas masa lajang. Padahal di kampung perempuan yang tidak sedang sekolah, bekerja kantoran dan berusia diatas dua puluh tahun belum menikah adalah aib besar di mata orang-orang.
Kuat dugaan bibik, sebab pergolakan batin itu M lebih suka mengakhiri hidup, keluarganya terlalu berharap derajat yang tinggi dari sekolahnya. Dan oleh sebab kepergian M keluarganya meraung-raung tak terima, yang kau anggap sadar atas kesalahan sendiri.
"Lantas, kalau aku tidak membawamu minggat waktu itu kau akan melakukan hal serupa?"
Kau tersentak. Kaget. Lalu diam.
"Itu penyelesaian sia-sia."
"Maaf karena telah membelokkan derita padamu, suamiku."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H