"K dari mana saja tadi?"
"Dari kuburan."
Aku baru saja pulang menggali kuburan. Pagi tadi kampung dibuat geger oleh ulah Almarhumah gadis tiga puluh dua tahunan yang gantung diri di kamarnya, M namanya.
"Aku tau apa yang dirasakan M itu berat."
"Sok tau," protesku.
"Bibik sudah cerita tadi."
Kalau bibik yang cerita aku mengangguk saja. Adik bapakku itu suka sekali cari tau dan cerita urusan orang.
Dari cerita bibik kau mengaku, M sebenarnya gadis yang ditinggikan derajatnya, bersekolah tinggi. Aku tau itu. Namun diusianya yang sudah ketiga puluh dua tahun ia belum menikah. Bukan tidak ada yang melamarnya. Sudah puluhan kali. Hanya saja keluarganya belum menemukan sesuai kehendak, mantu yang berseragam. Lebih mirisnya, sudah selama itu umurnya ia masih menyandang jabatan pengangguran.
M malu jadi pengangguran, tapi lebih malu jika ditanya orang kapan ia akan melepas masa lajang. Padahal di kampung perempuan yang tidak sedang sekolah, bekerja kantoran dan berusia diatas dua puluh tahun belum menikah adalah aib besar di mata orang-orang.
Kuat dugaan bibik, sebab pergolakan batin itu M lebih suka mengakhiri hidup, keluarganya terlalu berharap derajat yang tinggi dari sekolahnya. Dan oleh sebab kepergian M keluarganya meraung-raung tak terima, yang kau anggap sadar atas kesalahan sendiri.
"Lantas, kalau aku tidak membawamu minggat waktu itu kau akan melakukan hal serupa?"