Aku sangat bersyukur bencana itu tidak terjadi. Pikirku adatmu bukan lagi adat batu. Belum tentu perkara selesai jika kedua adat bertukar posisi.
Aku belum bisa mengakui semua yang kita lakukan sebagai perjuangan cinta. Walaupun akad nikah telah diaminkan kedua belah pihak, restu dari walimu, mertuaku sudah kudengar. Sebab aku tak hendak menemuimu layaknya malam ini, D tersenyum walaupun hatinya bergemuruh. Jasadmu bisa kupeluk, namun aku mau bertanya, di manakah hatimu, istriku?
Kau bangun lebih awal, menyiapkan segala sesuatu layaknya mantu baru pada umumnya. Lama kau menatap wajahmu yang digambarkan cermin. Kedut matamu sebagai pengakuan kalau tidurmu tidak nyenyak.
"Ada apa D, pagi-pagi sudah berdandan?"
"Aku akan ikut tes tulis pegawai tidak tetap pemerintah."
"Kenapa buru-buru."
"Tiga tahun itu lama lo K," sangkalmu, mengungkit sudah berapa lama kau jadi Sarjana pengangguran.
Aku hanya mengangkat alis, sebagai tanda mendukung perjuanganmu.***
Sudah petang aku kembali. Kau pun sudah pulang. Dugaanku kau belum merasa tenang, walaupun mengakui tes tulisnya lancar jaya.
"Bentar lagi aku akan jadi suami yang paling bangga sedunia D," bukaku sambil menyungging senyum.
"Kenapa K?"