Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Ocehan Orang Miskin

8 Desember 2017   17:54 Diperbarui: 8 Desember 2017   18:20 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dutaislam.com/smartcalling.com

Bulan lalu saya mengantar saudara ke RSUD Kabupaten. Guna kontrol bulanan atas penyakit yang dideritanya. Pasien pemegang kartu santunan BPJS Kesehatan.

Setelah melakukan proses administrasi langsung menyelip ke kursi kosong ruang tunggu. Belum banyak yang antre waktu itu. Pasalnya kami datang lebih awal. Namun perlahan semua kursi terduduki. Hingga ada yang nyender ke tembok.

Sudah lewat jam sembilan pagi belum juga ada panggilan. Karena mungkin sudah terlalu risih menunggu seorang bapak yang sudah beruban bertanya sinis pada perawat yang lalu lalang.

"Dokter, gimana ini, apa dokternya gak masuk hari ini," katanya sambil melirik jam tangannya. Saya tersenyum melihatnya. "Sabar, pak. Sebentar lagi datang." Perawat itu menenangkan.

Lalu ia kembali lagi duduk. Namun kali ini menempati sebuah ruang yang masih kosong pada deret kursi yang saya, saudara dan pasangan (yang barangkali pegawai) duduki. Bapak itu masih terlihat cemberut, dan terus-menerus melihat jam tangannya.

Karena perkiraan giliran saudara saya dipanggil masih lama, sebab sebelumnya sudah lumayan yang antre, dan bahkan "pemeberi resep" sembuh belum pula datang. Saya pun memutuskan keluar gedung Poliklinik.

Di Kursi plastik yang berkrangka besi, yang terakit empat buah sandaran saya duduk. Memandang ke pohon-pohon pinus yang sudah mulai berkilauan diterpa cahaya matahari. Di yang lebih jauh ada gundukan-gundukan wilayah perkebunan. Yang lebih jauh lagi tertumpu pada Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Sembari menikmati pandangan, secara naluri saya mengeluarkan sebatang rokok. Tanpa melirik pemantik api, rokok sudah tersulut. Setelah menyembulkan gumpalan asap pertama, tiba-tiba sadar, langsung melirik kanan-kiri. Tak ada larangan.

Memang sebelumnya juga tidak ada larangan. Tapi siapa tau sudah ada, pikirku. Setelah melihat banyak sekali puntung rokok di sudut-sudut taman baru saya merasa aman.

Saya masih asyik menyembulkan asap. Tiba-tiba ada yang datang. Memakai seragam. Tinggi kekar dan wajah bersahabat.

"Di sini tidak ada yang larang ya?" celetuknya. Tangan kirinya memang bungkus rokok dan di jari-jarinya terjepit sebatang rokok. Sedang tangan kanannya memegang korek api yang sudah siap diaksikan. Tampaknya sudah siap membunuh suasana ruang tunggu.

"Iya pak. Hehe," tanggapku. Ia langsung duduk di salah satu sandaran.

Langsung basa-basi sesuai kondisi. Tanya dan balik tanya: siapa sakit, sakit apa, asal dll, serta curhat kengerian ruang tunggu (tak mungkin lupa). Katanya ia mengantar istrinya USG. Saya yang belum beristri mengangguk saja.

..... Entah apa yang sudah kami ceritakan. Lalu ia bercerita prihal kecemburuan orang miskin terhadap orang kaya. Menyangkut pelayanan rumah sakit.

"Begitulah orang kampung (baca: miskin). Kita dapat fasilitas kelas tiga dibilang pemerintah tidak adil," katanya. Spontan saya kaget. Menduga kalau bapak itu nyindir saya dan "bangsa" saya.

"Begitu ya pak?" Saya mulai tertarik.

"Iya. Seperti saat istri saya melahirkan. Anak ketiga. Kebetulan ada teman istri ketemu di sini. Eh, dianya ngoceh (saat menjenguk), 'begini kalau pegawai sakit, satu kamar satu, dilayani lebih baik, titik titik titik. Banyak sekali yang dibahas. Padahal dia gak tau, kalau gaji kita dipotong tiap bulan."

"Oh. Bapak ikut BPJS?"

"Iya. Kan wajar kita dapat lebih baik. Yang bayar uang kita. Mereka kan gratis. Kamu tau kenapa gratis?"

"Kenapa pak?"

"Itu ditalangi uang BPJS kita yang belum terpakai, dan dari pajak yang kita bayar."

Saya mengangguk dan mengira mungkin begitu adanya.

Lalu obrolan berhenti sejenak. Saat anaknya yang barangkali 4-5 tahunan datang. Langsung loncat kepangkuannya.

Setalah anaknya yang menurut saya sangat nakal itu tenang, kembali ia melanjutkan obrolan.

"Sebenarnya kalau banyak yang miskin (maksudnya rakyat) tidak bisa juga disalahkan pemerintah," bukanya lagi.

Terpaksa saya memfokuskan perhatian. Padahal saya ingin dicukupkan sampai di situ, dan sudah berniat balik lagi ke ruang tunggu.

"Karena mereka tidak mau dibantu. Saya sering sekali beli pukuk bantuan dari masyarakat."

"Bapak berkebun juga?" Menanggapi malas.

"Malah lebih luas dari petani."

Saya langsung mengangguk lagi. Kali ini sangat betul. Keadaannya memang begitu. Tapi tidak bisa pula secara mutlak menuding kalau petani tidak mau dibantu. Model yang dimaksud bapak itu mungkin orang-orang yang menganggap bisa dapat makan sudah masuk ke dalam zona aman, dan mereka nyaman. Atau ada keperluan lebih mendesak. Saya kira bapak tau, untuk merubah pemikiran golongan itu juga sudah dibayar negara kaum sebangsa bapak. Tau kan pak?

Bapak mungkin tidak tau, kalau ternyata orang-orang yang suka bekerja malah sepanjang hidupnya belum tersentuh bantuan. Sebab itu mereka selalu kekurangan modal. Jadi kalau hitung luasnya, jelas "kami" kalah. Pula bapak selalu mengupah buruh kan?

"Pupuknya dijual ke kita," lanjutnya. Saya sudah mulai merasa tidak enak. "Kebun bagus cemburu. Panen banyak iri. Harusnya gak usah hidup saja ya?"

Dan akhirnya saya pun benar-benar jengkel.

"Aduh, sinis amat. Seharusnya ente jangan mau beli pupuk mereka. Mungkin kalau kami tidak hidup miskin, mungkin ente yang miskin. Kalaupun pertemuan ini sudah ditakdirkan, saya ragu kalau ente hari ini bisa pakai seragam, soalnya tidak dibutuhkan."

Saya belum puas. Ingin ngoceh lagi.

"Lagipula jam segini kok ente di sini, emang jam kantor sudah kelar? Pakai seragam lagi. Mau gaya ya? Pede Amat. Atau supaya dilayani lebih cepat? Ngaku aja deh. Sebab tidak mungkin lo sudah tidak ada kerjaan. Ente kan yang bilang barusan, kalau masalah negeri ini sangat kompleks. Sadar gak sih tadi ngomong?"

Saya tambah lagi.

"Sebenarnya yang gak usah hidup siapa sih? Kami yang hidup melarat atau sebangsa ente---yang dibayar untuk membuat kami sejahtera? Jauh amat prihatinnya."

Kemudian bapak itu pergi. Tapi bukan karena ocehan saya. Melainkan istrinya yang memanggil.

Saya pun akhirnya menyesal atas ocehan dalam hati saya itu. Dan langsung minta maaf---juga dalam hati. Sebab kalau langsung takut disangka orang gila. Apa? Bilang kalau saya telah mengumpatnya? Aduh, saya terpaksa mengakui belum semulia itu. Janji deh tidak ngoceh lagi, kalau tidak hilaf tapi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun