Lalu obrolan berhenti sejenak. Saat anaknya yang barangkali 4-5 tahunan datang. Langsung loncat kepangkuannya.
Setalah anaknya yang menurut saya sangat nakal itu tenang, kembali ia melanjutkan obrolan.
"Sebenarnya kalau banyak yang miskin (maksudnya rakyat) tidak bisa juga disalahkan pemerintah," bukanya lagi.
Terpaksa saya memfokuskan perhatian. Padahal saya ingin dicukupkan sampai di situ, dan sudah berniat balik lagi ke ruang tunggu.
"Karena mereka tidak mau dibantu. Saya sering sekali beli pukuk bantuan dari masyarakat."
"Bapak berkebun juga?" Menanggapi malas.
"Malah lebih luas dari petani."
Saya langsung mengangguk lagi. Kali ini sangat betul. Keadaannya memang begitu. Tapi tidak bisa pula secara mutlak menuding kalau petani tidak mau dibantu. Model yang dimaksud bapak itu mungkin orang-orang yang menganggap bisa dapat makan sudah masuk ke dalam zona aman, dan mereka nyaman. Atau ada keperluan lebih mendesak. Saya kira bapak tau, untuk merubah pemikiran golongan itu juga sudah dibayar negara kaum sebangsa bapak. Tau kan pak?
Bapak mungkin tidak tau, kalau ternyata orang-orang yang suka bekerja malah sepanjang hidupnya belum tersentuh bantuan. Sebab itu mereka selalu kekurangan modal. Jadi kalau hitung luasnya, jelas "kami" kalah. Pula bapak selalu mengupah buruh kan?
"Pupuknya dijual ke kita," lanjutnya. Saya sudah mulai merasa tidak enak. "Kebun bagus cemburu. Panen banyak iri. Harusnya gak usah hidup saja ya?"
Dan akhirnya saya pun benar-benar jengkel.