"Aduh, sinis amat. Seharusnya ente jangan mau beli pupuk mereka. Mungkin kalau kami tidak hidup miskin, mungkin ente yang miskin. Kalaupun pertemuan ini sudah ditakdirkan, saya ragu kalau ente hari ini bisa pakai seragam, soalnya tidak dibutuhkan."
Saya belum puas. Ingin ngoceh lagi.
"Lagipula jam segini kok ente di sini, emang jam kantor sudah kelar? Pakai seragam lagi. Mau gaya ya? Pede Amat. Atau supaya dilayani lebih cepat? Ngaku aja deh. Sebab tidak mungkin lo sudah tidak ada kerjaan. Ente kan yang bilang barusan, kalau masalah negeri ini sangat kompleks. Sadar gak sih tadi ngomong?"
Saya tambah lagi.
"Sebenarnya yang gak usah hidup siapa sih? Kami yang hidup melarat atau sebangsa ente---yang dibayar untuk membuat kami sejahtera? Jauh amat prihatinnya."
Kemudian bapak itu pergi. Tapi bukan karena ocehan saya. Melainkan istrinya yang memanggil.
Saya pun akhirnya menyesal atas ocehan dalam hati saya itu. Dan langsung minta maaf---juga dalam hati. Sebab kalau langsung takut disangka orang gila. Apa? Bilang kalau saya telah mengumpatnya? Aduh, saya terpaksa mengakui belum semulia itu. Janji deh tidak ngoceh lagi, kalau tidak hilaf tapi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H