Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Sekolah, Supaya Tidak Jadi Petani Seperti Bapakmu"

25 November 2017   17:20 Diperbarui: 25 November 2017   20:46 4513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak yang tidak berhasil tertarik pada sekolah (Dokumentasi Pribadi)

Dulu di daerah saya kampanye di atas begitu gencar digaungkan guru-guru saya di sekolah. Sebab itu secara diam-diam (2009) saya mendaftar salah satu jalur undangan yang menghampiri sekolah. Itulah satu-satunya jalan yang memungkinkan (kalau beruntung) bagi anak petani miskin yang "bernasib" serupa saya untuk melanjutkan pendidikan. Karena jika lulus akan mendapatkan beasiswa penuh.

Yang namanya diam-diam, kalau tiba masanya harus diumbar, maka jelas kekagetan akan timbul. Begitu kira-kira saat ada yang mencari saya. Terpaksa janji dengan kepala tukang bangunan dibatalkan (yang mana sesuai kesepakatan dua hari lagi akan berangkat nguli bangunan). Sebab lamaran yang saya kirim bersama hampir separuh teman kelas, yang saya tidak yakin akan diterima tapi sangat berharap dari itu, terpilih menjadi salah satu bundelan kertas yang barangkali menarik dari instansi penyedia program beasiswa.

Yang datang mencari saya adalah orang dari dinas perpanjangan tangan pusat. Bersama sebuah amplop coklat yang digenggamnya, beliau turut menembakkan mata jengkel pada saya. Yang belakangan saya tau penyebabnya---tidak ada nomor yang bisa dihubungi dalam berkas lamaran. Mau gimana lagi, ya saya nya jangankan punya nomor malah megang HP aja belum pernah.

Tanpa basa-basi ia berkata tegas, jika ingin mengambil beasiswa yang surat kelulusannya sudah diserahkan maka besok sore saya harus berangkat. Titik. begitu kira-kira penyampaian dengan muka kecewa darinya.

Hari itu kebetulan ada pesta di kampung, kedua orang tua tidak ke ladang. Mendengar itu jelas orang tua saya kaget. Karena sudah ada kesepakatan sebelumnya, bahwa saya tidak akan melanjutkan pendidikan kuliah. Saya juga menerima dengan lapang dada. Alasannya tentu tidak punya uang. Apalagi dua adik saya harus dibiayai sekolahnya.

Kalau memang berada, orang tua mana yang tidak ingin anaknya sekolah? Sekali pun itu sampai "es cendol" barangkali pasti diladeni. Terlebih "penyakit" klasik orang Kampung juga terus menyetubuhi orang tua saya---ngiler pada yang namanya berprofesi "minoritas", tepatnya memakai seragam kedinasan.

Yang mana untuk memenuhinya kadang ada yang berdo'a pada yang aneh-aneh, bukan pada Tuhan, melainkan mengasuh dukun. Juga kadang dalam praktiknya, usaha dan doa-doa dengan mudah dipecundangi oleh kertas yang tersemat banyak 0 nya, uang.

Jadi orang tua saya seperti orang tua kampung kebanyakan. Yang selalu dihinggapi pikiran dilematis antara ingin menjadikan anaknya jadi kaum minoritas tadi dan kepercayaan tidak mungkin (sebab uang).

Sebenarnya saya berat menelan ludah kesedihan atas nasib saya dan anak-anak selevel. Sebab untuk menggapai cita yang sudah tertanam atau dipompa orang-orang yang sudah lebih dulu berpendidikan (guru misalnya), malah dengan mudah digembosi dengan hal yang bersifat materil. Hingga saat ini uang dengan mudah mendikotomi jenjang pendidikan. Setuju?

Terakhir (dalam minggu ini) kisah pilu itu saya dengar, anak tetangga saya diacam sekolahnya. Jika uang SPP dan OSIS belum dilunasi maka tidak akan dapat kartu ujian. Desakan untuk membayar uang sebesar Rp 62.000/bulan yang bersifat sumbangan itu berhasil membulatkan tekadnya untuk "pensiun dini" dari sekolahnya. Mudah sekali ia merasa terusir dari haknya. Padahal, jika berkaca dari zaman sekolah dulu, (mungkin) hanya sebuah gertakan dari pihak sekolah.

Sekitar pukul 9.00, setelah ngomong ini itu Pengantar Surat pulang. Belum pula deru motornya lenyap dari pendengaran, sebelum orang tua saya berangkat kondangan, salah satu guru saya datang. Langsung masuk dan menceramahi orang tua saya.

Guru yang sihiran kata-katanya selalu cetar memacu adrenalin untuk lebih giat belajar. Di samping itu, sekaligus kata-kata beliau dengan pedih memojokkan orang tua kami. "Apa mau seperti bapakmu lagi. Jadi petani. Dekil. Susah. blablabla"-----misalnya.

Petuah yang klasik tadi diumbar keras-keras oleh beliau, yang kemudian berhasil meluluhkan hati kedua orang tua saya. Penyebab yang paling menonjol saya kira, "Harapan saya, (ia) akan berseragam kelak".

Meski ada gurat ketidakberdayaan dari mereka yang tercinta, akhirnya setuju melepas saya. Dengan meminjam untuk ongkos perjalanan. Hari itu juga saya menyiapkan persyaratan, dan baru lengkap esok harinya.

"Kenapa tidak bilang mendaftar?" tanya bapak masih tidak percaya.

Saya tidak menjawab. Kalau dimintai persetujuan dulu pasti tidak diizinkan, pikir saya sebelumnya. Lagi pula saya ingin sekolah lebih tinggi sebab ingin mengubah kedudukan dengan meraih pekerjaan yang lebih baik. Itu saja.

Ditambah dengan penguatan lainnya dari yang terhormat para Guru, "Jangan malas. Anak petani bisa jadi apa saja. Bahkan negara mengakui itu." Maka jelas saya tidak salah jika tidak ingin berprofesi seperti bapak.

Di situ pula menegaskan, kalau saya (sepertinya bukan saya saja) lebih mendengarkan kata-kata guru daripada orang tua. Nah, bisa dibayangkan, kan, kalau guru selalu berorasi bahwa sekolah itu demi mendapat pekerjaan yang lebih layak?

Waktu itu salam cium pada orang tua saja masih membuat malu (budaya malu yang keliru menurut saya kini). Tapi Emak malah membuat risih---mencumbu lebat saat mau berangkat. Pipi saya basah dengan air matanya.

Dalam perjalanan saya mengingat tangisan Emak. Dari matanya kulihat aura seolah akan kehilangan satu anaknya. Tiba-tiba saat itu saya ingin menangis, hal yang sudah lupa kapan terakhir terjadi itu bisa kuredam, dengan membayangkan betapa bergengsinya nanti setelah pulang akan mendapat pekerjaan memakai seragam. Dan itu akan membuat Emak bahagia, yakin saya.

----------

"Sekolah supaya tidak jadi petani". Gaung itu masih terdengar. Tapi sudah mulai memudar.

Sebab para pemukul kesadaran itu sepertinya memejamkan mata. Mereka yang jika sadar berkewajiban minciptakan lapangan kerja seolah tidak berbuat.

Bisa dibayangkan negatifnya jika anak-anak sekolah mau sekolah (karena diajak) hanya berharap sekolah mampu mendapatkan pekerjaan yang menurut mereka lebih layak tapi setelahnya lapangan kerja tidak menyambut? Jelas kecewa.

Mereka yang sudah sukses menjadi "pengharap" merasa terhinakan. Selain malu (seharusnya tidak) karena ada yang kembali lagi jadi petani, uang yang hangus pula turut disesalkan. Dan jelas dampaknya pada anak-anak yang masih seumuran sekolah, jadi tidak serius dan memilih putus sekolah karena "sekolah juga tetap jadi petani", anggapan berupah total.

Contohnya pedagang sapi di kampung saya, yang bisa dikatakan sudah alergi melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi. Katanya, anak sulungnya aja sudah empat tahun sarjana belum juga kerja. Biaya yang dihabiskan anak yang belum beruntungnya cukup banyak memang, sekitar 300 juta. Karena mungkin otak dagangnya senantiasa kumat, "Kalau uang itu didangangkan mungkin lain cerita," sesalnya saat bercerita pada saya.

Lalu bagaimana dengan saya? Lumayan beruntung. Setelah pulang kuliah (lulus), yang dicita tergolong mudah didapat, langsung dapat pekerjaan yang memakai "seragam", sesuai cita walaupun masih tenaga kontrak. Gaji lumayan.

Seharusnya saya bangga dan betah bekerja, tapi kenapa saya malah cepat bosan. Model pekerjaan yang monoton itu perlahan membuat gemuruh dalam hati saya. Dengan mengganggap bahwa pekerjaan itu tidak ada geregetnya. Saya merasa seolah tidak bekerja.

Alasannya, pekerjaan yang bertujuan lebih kurang untuk mensejahterakan rakyat, melulu tidak sesuai target. Mengolah ini dan itu yang ujung-ujungnya hanya menggemukkan beberapa pengolah, bukan sasaran.

Pemeo "persetan dengan mereka, yang penting kita kenyang" melajar cepat ke dalam benak, dan saya muak. Yang lebih parahnya, seolah-olah membiarkan rakyat tetap melarat agar "komisi" semakin banyak didapat. Ya memang, tidak semua begitu.

Setelah dua tahun kontrak saya habis, dan saya pun kembali jadi petani (tepatnya serabutan, belum mau terikat), padahal yang menawarkan kerjaan lain lumayan banyak. Sejujurnya kadang saya menyesal. Tapi yang jelas, sekarang saya sangat malu karena dulu telah ikut mengerdilkan profesi petani dengan mengagungkan keglamoran sekolah.

Juga tentu, tidak ada niat memojokkan pendidikan dan pendidik dalam tulisan ini. Saya merasa sangat beruntung karena telah menikmati sedikit pendidikan dan punya banyak Guru. Tapi, kok ya saya tidak setuju jika menganggap sekolah akan memberi kerja yang lebih layak. Dan dampaknya akan banyak yang "membenci" sekolah. Belum sesuai kenyatan soalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun