Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Sekolah, Supaya Tidak Jadi Petani Seperti Bapakmu"

25 November 2017   17:20 Diperbarui: 25 November 2017   20:46 4513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak yang tidak berhasil tertarik pada sekolah (Dokumentasi Pribadi)

Sebab para pemukul kesadaran itu sepertinya memejamkan mata. Mereka yang jika sadar berkewajiban minciptakan lapangan kerja seolah tidak berbuat.

Bisa dibayangkan negatifnya jika anak-anak sekolah mau sekolah (karena diajak) hanya berharap sekolah mampu mendapatkan pekerjaan yang menurut mereka lebih layak tapi setelahnya lapangan kerja tidak menyambut? Jelas kecewa.

Mereka yang sudah sukses menjadi "pengharap" merasa terhinakan. Selain malu (seharusnya tidak) karena ada yang kembali lagi jadi petani, uang yang hangus pula turut disesalkan. Dan jelas dampaknya pada anak-anak yang masih seumuran sekolah, jadi tidak serius dan memilih putus sekolah karena "sekolah juga tetap jadi petani", anggapan berupah total.

Contohnya pedagang sapi di kampung saya, yang bisa dikatakan sudah alergi melanjutkan pendidikan anaknya ke perguruan tinggi. Katanya, anak sulungnya aja sudah empat tahun sarjana belum juga kerja. Biaya yang dihabiskan anak yang belum beruntungnya cukup banyak memang, sekitar 300 juta. Karena mungkin otak dagangnya senantiasa kumat, "Kalau uang itu didangangkan mungkin lain cerita," sesalnya saat bercerita pada saya.

Lalu bagaimana dengan saya? Lumayan beruntung. Setelah pulang kuliah (lulus), yang dicita tergolong mudah didapat, langsung dapat pekerjaan yang memakai "seragam", sesuai cita walaupun masih tenaga kontrak. Gaji lumayan.

Seharusnya saya bangga dan betah bekerja, tapi kenapa saya malah cepat bosan. Model pekerjaan yang monoton itu perlahan membuat gemuruh dalam hati saya. Dengan mengganggap bahwa pekerjaan itu tidak ada geregetnya. Saya merasa seolah tidak bekerja.

Alasannya, pekerjaan yang bertujuan lebih kurang untuk mensejahterakan rakyat, melulu tidak sesuai target. Mengolah ini dan itu yang ujung-ujungnya hanya menggemukkan beberapa pengolah, bukan sasaran.

Pemeo "persetan dengan mereka, yang penting kita kenyang" melajar cepat ke dalam benak, dan saya muak. Yang lebih parahnya, seolah-olah membiarkan rakyat tetap melarat agar "komisi" semakin banyak didapat. Ya memang, tidak semua begitu.

Setelah dua tahun kontrak saya habis, dan saya pun kembali jadi petani (tepatnya serabutan, belum mau terikat), padahal yang menawarkan kerjaan lain lumayan banyak. Sejujurnya kadang saya menyesal. Tapi yang jelas, sekarang saya sangat malu karena dulu telah ikut mengerdilkan profesi petani dengan mengagungkan keglamoran sekolah.

Juga tentu, tidak ada niat memojokkan pendidikan dan pendidik dalam tulisan ini. Saya merasa sangat beruntung karena telah menikmati sedikit pendidikan dan punya banyak Guru. Tapi, kok ya saya tidak setuju jika menganggap sekolah akan memberi kerja yang lebih layak. Dan dampaknya akan banyak yang "membenci" sekolah. Belum sesuai kenyatan soalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun