Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Sekolah, Supaya Tidak Jadi Petani Seperti Bapakmu"

25 November 2017   17:20 Diperbarui: 25 November 2017   20:46 4513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru yang sihiran kata-katanya selalu cetar memacu adrenalin untuk lebih giat belajar. Di samping itu, sekaligus kata-kata beliau dengan pedih memojokkan orang tua kami. "Apa mau seperti bapakmu lagi. Jadi petani. Dekil. Susah. blablabla"-----misalnya.

Petuah yang klasik tadi diumbar keras-keras oleh beliau, yang kemudian berhasil meluluhkan hati kedua orang tua saya. Penyebab yang paling menonjol saya kira, "Harapan saya, (ia) akan berseragam kelak".

Meski ada gurat ketidakberdayaan dari mereka yang tercinta, akhirnya setuju melepas saya. Dengan meminjam untuk ongkos perjalanan. Hari itu juga saya menyiapkan persyaratan, dan baru lengkap esok harinya.

"Kenapa tidak bilang mendaftar?" tanya bapak masih tidak percaya.

Saya tidak menjawab. Kalau dimintai persetujuan dulu pasti tidak diizinkan, pikir saya sebelumnya. Lagi pula saya ingin sekolah lebih tinggi sebab ingin mengubah kedudukan dengan meraih pekerjaan yang lebih baik. Itu saja.

Ditambah dengan penguatan lainnya dari yang terhormat para Guru, "Jangan malas. Anak petani bisa jadi apa saja. Bahkan negara mengakui itu." Maka jelas saya tidak salah jika tidak ingin berprofesi seperti bapak.

Di situ pula menegaskan, kalau saya (sepertinya bukan saya saja) lebih mendengarkan kata-kata guru daripada orang tua. Nah, bisa dibayangkan, kan, kalau guru selalu berorasi bahwa sekolah itu demi mendapat pekerjaan yang lebih layak?

Waktu itu salam cium pada orang tua saja masih membuat malu (budaya malu yang keliru menurut saya kini). Tapi Emak malah membuat risih---mencumbu lebat saat mau berangkat. Pipi saya basah dengan air matanya.

Dalam perjalanan saya mengingat tangisan Emak. Dari matanya kulihat aura seolah akan kehilangan satu anaknya. Tiba-tiba saat itu saya ingin menangis, hal yang sudah lupa kapan terakhir terjadi itu bisa kuredam, dengan membayangkan betapa bergengsinya nanti setelah pulang akan mendapat pekerjaan memakai seragam. Dan itu akan membuat Emak bahagia, yakin saya.

----------

"Sekolah supaya tidak jadi petani". Gaung itu masih terdengar. Tapi sudah mulai memudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun