Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bahkan Inspirasi Mendapat Laba bisa Datang dari Laba-laba

24 Oktober 2017   08:37 Diperbarui: 24 Oktober 2017   08:52 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Sarastiana.blogspot.co.id

Inspirasi memang bisa datang dari mana saja. Entah itu dari orang terdekat, orang asing (lain), dan tentu saja dari gebetan atau pacarmu. Misal, beberapa hari belakangan kamu tak doyan makan, tapi eh tiba-tiba si doi tau dan memintamu makan, "Nanti kalau sakit saya yang sedih," bujuknya. Jadilah secepat kilat kamu bisa menghabiskan nasi tiga piring, sekalipun itu tanpa lauk.

Bisa juga dari benda mati. Misalnya air, yang selalu mengalir dengan riak yang menenangkan. Jadilah kita terpikir, kenapa selama ini selalu berusaha membuat rusuh keadaan yang memang kadang sedang gaduh.

Selain itu, sumber inspirasi terkadang nyambar berkat pencapaian diri dan kondisi lingkungan. Untuk pencapaian diri (prestasi) seperti para peraih Kompasianival Awards, yang mana berdasarkan pengakuan para jawara penghargaan itu akan memacu mereka lebih giat lagi.

Sedangkan inspirasi yang datangnya dari kondisi lingkungan, saya sudah pernah ceritakan dalam sebuah artikel: Sukrianto yang berhasil mengolah warisan leluhur (budaya) jadi usaha. Yaitu memakai keindahan motif pakaian adat ke dalam bentuk lain---hiasan rumah tangga.

Bahkan inpirasi bisa datang dari binatang "menyedihkan" tapi pekerja keras: Laba-laba. Ibrahim namanya yang memulai dagang setelah terilhami dari serangga penjerat itu.

Sudah belasan tahun lalu (ia lupa tepatnya), Ibrahim merantau ke Kabupaten tetangga, Aceh Tengah. Ia pergi meninggalkan segudang masalah yang menurutnya tak ada jalan lain sebagai pemecahnya, selain kabur. Ia suka berjudi hingga mencipta gunungan hutang dan membohongi istri yang sudah melahirkan dua anaknya, Lela Mahdi dan Imah, untuk menjual sebidang sawah warisan dari mertuanya.

Sekira dua tahun ia menjadi kuli kasar di sana, pekerja harian di kebun warga. Tapi akhirnya mendapat tenelen (baca: keluarga angkat), yang mau memberinya modal menanam Kopi di kebun milik "malaikat" penolongnya itu. Sampai masa panen ia dibelanjai merawat, dan selanjutnya akan bagi dua kebun: separuh sah jadi miliknya tanpa perlu merawat lagi bagian yang sudah menjadi milik pemodal.

Tapi, sebelum masa jaya itu datang ia kembali membuat ulah. Ia mengaku memang sulit meninggalkan kebiasaan, sekali pun tau itu tidak baik. Kembali jadi "berandal", mengikuti para pejudi tuan rumah rantauannya. Ditambah ia mulai suka "mengedip-ngedipkan" mata pada janda. Hal itu juga kadang dicoba pada anak gadis. Sebab itu keluarga angkatnya berang, membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa ampun mengusirnya.

Setelah itu ia pun pindah ke lain kecamatan. Tentu saja dengan beban penyesalan, akunya. Kembali merangkak---jadi kuli harian di kebun warga demi menyambung hidup.

Suatu hari ia mendapat borongan mengikis gambut kebun kopi yang baru tumbuh. Tidak tanggung-tanggung, satu Ha ia pegang sebdiri. Niatnya setelah kerja kelar akan merambah ke Kabupaten lain, atau mungkin ke Sumatra Utara.

Kebun yang sangat ia harapkan upahnya itu lumayan jauh dari pemukiman warga. Tapi sudah ada jalan setapak yang bisa dilewati motor zaman jadul. Beberapa kali ada petani menawarkan tumpangan. Kebanyakan tidak, sebab kendaraan mesin yang lalu-lalang mengangkut hasil tani.

Namun biasanya ada teman berjalan kaki. Ada sekali hanya ia sendiri dalam hamparan perkebunan yang luas itu. Kalau gak salah hari Jum'at katanya. Ia memang sudah biasa tidak Salat, juga ada saja temannya. Kali itu lain, sebab ada pesta di Kampung makanya sepi.

Hari itu ia pulang lebih awal. Karena mendung menutup langit dan takut binatang buas. Di dalam perjalanan ia berhenti di peneduhen(baca: tempat istirahat). Ia melepas letih, menyandarkan tubuh lelahnya ke sebuah pohon, lumayan besar. Sesekali terngiang di kepalanya aral kelabu menimpanya. Ia sadar betul semua itu sebab ulahnya. Mengingat itu ia menangis katanya.

Masih dengan berurai air mata sambil memandang telapak tangannya yang kasar dan penuh luka lebam tiba-tiba perhatiannya teralihkan denging sayap serangga yang melintas di atas ubun-ubun. Spontan mengibasnya. Meleset.

Namun nasib buruk menimpa serangga malang yang mengganggu lamunannya, tepatnya meratapi nasib. Karena terjerat sarang laba-laba. Dengan buru-buru laba-laba mengambil tangkapannya. Entah sebab apa ia begitu hikmat menyaksikan aksi pencekalan kejam itu, padahal itu hal yang biasa, katanya.

Ada beberapa aksi disaksikan. Tiba-tiba dalam hatinya bertanya-tanya, "kalau manusia usaha apa yang sama dengan laba-laba, memasang jaring sederhana dan kemudian rizeki datang sendiri", lama ia meikirkan itu.

Ia pun dapat yang nyaris serupa. Biasanya para petani menjual Kopi ke Toke di Kota. Kenapa bukan ia yang jadi perantaranya, itu jawabannya. Dengan tekat bulat ia akan mencoba, didertai kepercayaan akan berhasil tentu saja.

Esok harinya ia ke Kota. Menemui mantan majikannya---Toke Kopi yang terpaksa memecatnya sebab kuantitas barang yang diperoleh kian menuju penurunan.

Setelah mengutarakan maksud, kesepatakan pun terjadi: jika membawa barang pada sang tuan, ia akan mendapat komisi.  Semakin banyak barang rupiah akan melimpah pula ke dalam sakunya. Hari itu juga ia langsung diberi modal awal.

Sore harinya, sepulang dari kota ia langsung memutus perjanjian mengikis rumput. Tapi karena ada kesan tidak terima dari yang bersangkutan, mungkin alasannya separuh upah telah diambil, ia mencari pengganti terangnya.

Kemudian ia langsung bertingkah seperti Laba-laba: menunggu di persimpangan jalan menuju kebun. Membawa timbangan dan goni. Meski awalnya petani yang ia cegat menganggapnya bercanda, tapi di hari permulaan itu juga sudah lumayan bayak barang didapat. Rumah yang dipinjam dijadikan gudang sementara, sampai besok pagi, karena tren untung ia pun menawarkan untuk disewa ke empunya.

Lama-kelamaan rizekinya tambah melimpah. Kadang ada saja petani melepas barangnya lebih murah. Itu jadi untung tambahan.

Karena ada yang mengikuti jejaknya, ia berinisiatif tidak hanya diam di persimpangan. Melainkan bergeryilia ke kebun petani, sekaligus jalan-jalan menepis bosan menunggu sore tiba---saat petani pulang dari kebun. Dengan strategi membawa jajanan anak-anak untuk anak petani, seperti permen dan kerupuk. Otomatis diplomasi yang dibentuk menjadikannya langganan petani menjual barang. Malah kadang dapat bonus segelas kopi dan makan siang gratis.

Belum genap setahun ia menikahi perempuan yang berasal dari daerahnya mencari keberuntangan itu. Selain itu, juga sudah bisa membeli berhektar-hektar kebun, baik sudah berisi maupun kosong, dan sebuah rumah. Ia mengolah lahan kosong seperti kesepakatan yang terpaksa batal sebab ulanhya.

Kini kebunnya sudah puluhan Hektar. Baik di tempat ia memulai usaha maupun di daerah asalnya, Gayo Lues. Bukan ia sendiri yang mengolahnya, tepi merekrut pekerja.

Sudah lama pula ia kembali ke daerah asalnya. Meninggalkan Kebun-kebun yang digarap orang lain. Ia hanya ongkang-ongkang kaki, menunggu kiriman bagiannya, dan sekaligus mengawasi pekerja di Toko bahan pertanian yang sekarang sudah tergolong besar di Kota Blangkejeren. Serta sesekali jalan-jalan beserta anak-istrinya dengan Mobil Rush miliknya.

Sebab terilhami dari cara Laba-laba mencari rizeki ia sudah punya banyak kebun, Toko, rumah bertingkat, mobil mewah, membayar hutang di masa lalu, akan naik haji, dan menyekolahkan anak-anaknya: kecuali dua anak dari istri pertamanya, satu bernama Lela Mahdi yang membawa saya bertemu dengannya hingga mendapat cerita ini serta satu lagi yang bernama Imah---saat ini keduanya sudah nikah.

Saya tidak tau, apa ceritanya benar nyata atau hanya sebuah dongeng karangannya atau mungkin karangan orang lain. Bisa saja dikarang sendiri untuk menyambuk orang seperti saya yang masih jauh dari kata "sukses" dan teman saya, Lela Mahdi, yang juga sampai sekarang belum sukses meski sang pencerita (pak Ibrahim) telah menggelontorkan modal sebesar yang diminta, bahkan kebun dibeli. Ya memang bapak teman saya, maka wajarlah. Tapi sudah ada Ibu tirinya yang terlihat garang pada adik-adik tirinya. Saya juga diajak ke rumah pak Ibrahim untuk mengambil Modal buat Lela Mahdi.

Pesan: jangan semua pula nanti ingin jadi "Laba-laba" siapa pula nanti jadi mangsanya. Hehe.

Jadi intinya, Inspirasi memang bisa datang dari apa pun dan dari mana saja. Seperti tulisan ini, yang terinspirasi dari kisah inspiratif pak Ibrahim.

Catatan: belajar menginspirasi diri ini, hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun