Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masjid Keramat

14 Oktober 2017   21:46 Diperbarui: 15 Oktober 2017   22:53 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski kencan semalam masih menyisakan kilauan asmara. Tapi pagi ini, walau suasana pagi berhiaskan embun yang seyogyianya menenteramkan, hatiku malah tak menentu. Musababnya, paksaannya agar aku memburu waktu menghalalkannya.

Sedang cerita wali perempuan tidak meminta mahar tinggi sudah kuanggap hanya cerita dongeng dari masa lalu. Rata-rata calon mempelai pria harus menyediakan empat puluhan juta rupiah jika ingin jadi mempelai, seperti halnya ayah kekasihnya. Terkadang aku mengutuk, sebab hidup di zaman kini, bukan dulu.

Tembok tebal embun basah menyamarkan pandangan pada orang-orang yang sudah lalu lalang. Bagi mereka simpulan tanggung jawab yang sudah terikat lebih menakutkan ketimbang cekaman dingin. Atau angan yang sudah bulat lebih menggoda daripada bermanja di tungku perapian. Ya, yang terakhir itu yang kutiru. Aku pun bergegas.

Beno, seprofesi—buruh kasar—dengan ku, lebih dulu hadir. Lelaki seumuranku yang sudah beristri itu teman curhatku. Ia paling tau prihal masalahku. Kami jadi kuli kasar pembangunan Masjid Kampung.

Kubah Masjid yang dulunya berkerangka kayu dengan tudungan ijuk pohon aren telah diruntuhkan. Meski awalnya renovasi tersebut ditantang keras sesepuh kampung. “Tak perlu dirubah. Itu akan mengurangkan keramatnya,” protes salah satu kaum tua. “Waktu itu berjalan. Sudah seharusnya kita ikut perkembangan,” bujuk kaum muda.
Kata sepakat akhirnya memenangkan kaum muda. Tapi dengan syarat dana pembangunan hanya boleh dari sedekah warga kampung—tidak boleh dari politikus yang tidak jelas cara memperoleh uangnya, itu akan mengotori Masjid. Kotak amal yang bersahaja di depan Masjid diperbesar.

“Lesu amat,” sapa Beno.

“Terus apa harus loncat-loncat?”

“Haha... eh, itu bagus untuk ngusir rasa dingin.” Sambil mengerlingkan mata dan meregangkan tubuhnya.

Aku enggan milihatnya. Sebab rasa dingin akan sirna setelah bekerja. Itu leluconnya saja.

Pandanganku malah tertuju pada kotak amal. Belum ada sepeser pun uang yang kujatuhkan ke dalam tubuh gemuk itu. Mataku selalu silau menatap benda itu.

“Dari kotak itu masalah akan sembuh,” terangnya.

“Maksudmu?” tanyaku yang langsung kepikiran ke jalur kiri. Mataku melotot padanya. Ia memang sering mengusulkan yang aneh-aneh.

“Haha...” ia tertawa lagi. “Bukan itu, maksudku ... kau tau kan betapa keramatnya Masjid ini. Bersedekahlah, lalu kau minta agar urusanmu dimudahkan.”

Tidak seperti biasanya, yang  mana temanku itu selalu sah disebut sebagai orang yang karam.

Mengingat usulanku padanya, “Jika kau ingin menikahi pacarmu secepatnya, bersedekahlah ke Masjid,” usulku.

Lalu tiga jum’at berturut-turut ia membawa makanan ringan dan seceret kopi untuk jamaah. Ia pun meminta do’a agar putri pak Imam menjadi istrinya, dengan restu dari bapaknya yang saat itu belum didapat. Begitu mujarab usulan iseng itu. Aku tersenyum mengingatnya.

“Nah, itu. Kenapa kau tidak coba.”

Kalau memang tidak terbukti kekeramatan Masjid Kampungku jelas saja pembangunannya akan terlantar. Harga dua buah Kubah yang berkilau itu saja lebih dari ratusan juta. Ditambah upah pengerjaannya. Tidak ada patungan, hanya dari perut kotak amal itu saja.

Besok adalah Jum’at. Bilal akan membuka setiap setelah Salat Jum’at. Biasanya setiap dibuka gundukan rupiah pun didapat.

Bilal pernah meminta bantuan ku untuk menyusun serakan uang dari receh hinggga lembar seratus ribu. Ketika itu kotak papan penampung derma itu menghasilkan uang sepuluh juta rupiah.

Melihat dari ramainya orang bersedekah, sebab pembangunan Masjid, hasil yang akan didapat besok digadang-gadang akan empat kali lipat dari biasanya.

“Banyak sekali,” pikirku sembari bekerja menjadi kernet tukang.

Seperti biasa, pagi ini juga tembok tebal embun basah tidak alpa, hingga menyamarkan pandangan pada orang-orang yang sudah lalu lalang. Bagi mereka simpulan tanggung jawab yang sudah terikat lebih menakutkan ketimbang cekaman dingin. Atau angan yang sudah bulat lebih menggoda daripada bermanja di tungku perapian. Tapi tidak seperti kemaren, lambang pagi sebagai ketentraman kini berselimut di hatiku.

Tidak lama setelahnya Kampungku gempar. Suara keributan retak, lalu perlahan pecah dan menyatu dengan udara pagi.

“Ayo ke Masjid,” ajak Beno yang tergopoh. Bersamanya banyak orang-orang yang hendak ke Masjid.

“Emang, ada apa?” Kami libur kerja pada hari Jum’at.

“Lo, belum tau? Kata Bilal Kotak Amal dicuri.”

“Iya, Siapa yang berani-berani maling di tempat keramat? Kampret itu orang!” kutuk yang lain.

“Kotak Amal?” tanyaku.

“Bukan Kotaknya. Tapi isinya. Ayo!”

Sebelum bangkit, kuhirup udara pagi dalam-dalam, lalu melepasnya perlahan. Dengan semangat kupencet tombol kirim pada ponselku. Mengirim pesan yang berisi: Sayang, aku akan melamarmu. Mahar yang diminta keluargamu sudah ada.

Aku berani melakukan itu karena belum pernah dengar Masjid Kampungku menulahi siapa pun. Yang ada hanya membantu orang susah: seperti aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun