Seperti biasa, pagi ini juga tembok tebal embun basah tidak alpa, hingga menyamarkan pandangan pada orang-orang yang sudah lalu lalang. Bagi mereka simpulan tanggung jawab yang sudah terikat lebih menakutkan ketimbang cekaman dingin. Atau angan yang sudah bulat lebih menggoda daripada bermanja di tungku perapian. Tapi tidak seperti kemaren, lambang pagi sebagai ketentraman kini berselimut di hatiku.
Tidak lama setelahnya Kampungku gempar. Suara keributan retak, lalu perlahan pecah dan menyatu dengan udara pagi.
“Ayo ke Masjid,” ajak Beno yang tergopoh. Bersamanya banyak orang-orang yang hendak ke Masjid.
“Emang, ada apa?” Kami libur kerja pada hari Jum’at.
“Lo, belum tau? Kata Bilal Kotak Amal dicuri.”
“Iya, Siapa yang berani-berani maling di tempat keramat? Kampret itu orang!” kutuk yang lain.
“Kotak Amal?” tanyaku.
“Bukan Kotaknya. Tapi isinya. Ayo!”
Sebelum bangkit, kuhirup udara pagi dalam-dalam, lalu melepasnya perlahan. Dengan semangat kupencet tombol kirim pada ponselku. Mengirim pesan yang berisi: Sayang, aku akan melamarmu. Mahar yang diminta keluargamu sudah ada.
Aku berani melakukan itu karena belum pernah dengar Masjid Kampungku menulahi siapa pun. Yang ada hanya membantu orang susah: seperti aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H