Juga yang menjadi kendala bagi petani ganja, bahwa toke sering mengutang. Dan utang yang mungkin akan dituntut di akherat nanti, tidak jarang malah tidak berganti hingga kini. Apalagi kalau tokenya mengaku saat menagih bahwa barang dari petani telah tertangkap, bukan lanjut menagih malah sembunyi(takut diciduk). Mungkin saja setelah pergi, sang toke tertawa puas, siapa yang tau---karena ini saya sebut toke pihak yang paling beruntung, kuat dugaan suka ngibul.
Karena urusan makan tidak bisa berhenti, maka jelas segala cara harus ditempuh. Salah satunya yang masih memungkinkan yaitu menanam ganja, tentu setelah merasa dilema yang akut, dan meski pun berisiko pilihan itu harus diambil. Jadi alasannya, para mereka yang terlanjur tenggelam melakukan perbuatan menyimpang itu adalah sebab tak ada alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan.
Lalu, bagaimana mereka mengangkut keluar Gayo Lues?
Untuk urusan mengangkut keluar daerah, sebenarnya nyaris mustahil orang-orang yang melakukan cocok tanam karena "butuh makan". Terkecuali memang yang punya nyali di atas rata-rata.
Ada lima pilihan jalan yang biasa dilakukan---saya taunya dari pelatihan. Satu jalan melalui hutan (yang banyak orang luar ragukan) dan empat lainnya bisa dilalui kendaraan: pertama, melalui jalur Kecamatan Pining-Aceh timur; kedua, melalui jalur Kecamatan Rikit Gaib-Pantan Cuaca-Aceh Tengah; ketiga, Kecamatan Terangun-Aceh Barat Daya dan keempat, melalui Kecamatan Putri Betung-Kuta Cane (Aceh Tenggara)-Sumatra Utara.
Yang paling santer terdengar, prosesi pengiriman melalui jalan hutan yang memang sulit terlacak dan kedua melalui jalur keempat melalui Kecamatan Putri Betung-Kuta Cane (Aceh Tenggara)-Sumatra Utara.
Bagaimana pemeriksaan di jalur keempat? Menurut pengalaman saya yang beberapa kali lewat (malam, dengan angkutan umum) bisa dibilang longgar dan bisa juga sangat ketat.
Longgar yang saya maksud, sebab beberapa kali saya lewat baik di di Umah Buner (perbatasan Gayo Lues-Aceh Tenggara) dan maupun di Lawe Pakam (perbatasan Aceh-Sumut) tidak ada pemeriksaan berarti. Malah terkadang tau-tau sudah lewat saja.
Jika kedapatan pemeriksaan yang ketat, memang cukup menjengkelkan dan menegangkan, bahkan bagi kita yang tidak merasa pelaku sekali pun. Pasalnya, di kedua perbatasan semua penumpang dipaksa turun, serasa disergap. Pernah sekali saya melihat penggeledahan yang cukup solid di Lawe Pakam, saya yang lagi tidur kaget dengan teriakan petugas, "BANGUN! BANGUN!.. TURUN!" seraya menepuk pundak saya lumayan kasar, menurutku.
Ketika itu, setiap lekuk tubuh mobil Avanza yang saya tumpagi diperiksa. Melihat barang penumpang diobrak-abrik, saya pun protes, "Jangan dibanting, Pak. Ada Laptop." Petugas menoleh, lalu membuka dan memeriksa teliti tas yang saya maksud.
Lalu, saya bingung, bagaimana mereka bekerja? Sepertinya melalui informan, kalau ada bocoran, seperti adik bapak saya yang pernah saya ceritakan: belum juga sampai perbatasan sudah dikejar.
Jadi, kalau boleh menduga bahwa barang yang lolos memang tidak ada bocoran atau ah.... we are mafia men... dengan sepotong kue semua lancar.