Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Petani Ganja Gayo Lues Sebelum Pensiun

11 Oktober 2017   17:32 Diperbarui: 12 Oktober 2017   21:37 4299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali bertemu dengan tukang nasi goreng langganan saya itu sudah hampir tengah malam. Mungkin melihat saya yang asing, dan demi membunuh hawa dingin Kota Bandung yang mencekam, Bapak itu membuka basa-basi. Memulai dengan menanya, apa yang saya rasa (cuaca). Berhenti sejenak. Lalu memastikan kalau saya orang rantau. Setelah mendapat kepastian, tentu ia menyelam lebih lanjut, asal. Saya bilang dari Gayo Lues. Karena baru pertama mendengar, bingung, ia bertanya kepastiannya.

"Gayo Lues itu salah satu kabupaten di Aceh, Pak," terang saya.
"O, Aceh... Banyak ganja ya Mas?"
"Begitulah Pak."
"Di situ ditanam di pekarangan rumah ya mas?" tanya bapak itu, sambil terus menongseng santapan malam saya.
Saya kaget, emang, bunga? Protes saya dalam hati. "Gak gitu juga pak. Dilarang kok."
"Kabarnya begitu," susulnya.

Karena saya tau tidak semudah itu, setelah menghela napas tentu saja saya protes. Enak saja, saya tidak terima Om. Saya pun menjelaskan panjang lebar, sepanjang pengetahuan saya waktu itu, yang tentu saja seputaran Gayo Lues (bukan bagian lain Aceh).

Petani Ganja melakukan proses yang tidak mudah. Karena mereka menanam jauh ke dalam hutan (jadi bukan lahan bersertifikat). Bahkan bisa sampai sehari perjalanan (tidak ada angkot). Sudah begitu, kalau tidak menggarap bekas lahan, mereka menebang hutan sebagai lahan baru. Dan itu biasa dilakukan, demi menjaga agar ganja yang ditanami tetap subur dan memudahkan perawatan. Karena itu saya memungkinkan, bahwa klaim luas lahan ganja di Gayo Lues (umumnya Aceh) mencapai hingga ratusan Ha, dalam hal ini hanya sebatas lahan yang belum tentu semua produktif.

Menurut keterangan dari petani yang sudah tobat, juga sudah pernah menjalani hukuman penjara, biasanya sekali berangkat bisa sampai sepuluh hari. Bayangkan sepuluh hari dalam hutan, itu tidak mudah kawan. Selain karena dingin dan basahnya Hutan Leuser, juga barangkali akan berhadapan dengan binatang buas yang sedang lapar. Konon, berpapasan dengan harimau tidak jarang terjadi.

Sudah begitu, setelah ditanam dan selama menunggu masa panen yang rata-rata tiga bulanan, sesekali mereka berangkat kembali dengan waktu lebih berkurang, guna perawatan. Kalau lahan bekas berpeluang lebih sering, karena rumput lebih doyan tumbuh.

Masa-masa panen adalah masa sulit sesungguhnya. Pertama, karena ganja yang diangkut harus kering, dan tentu kalau panennya musim hujan akan lebih merepotkan. Kedua, barang yang sudah kering (entah sudah packaging atau belum), harus diangkut. Pengangkutan itu jelas menggunakan tenaga manusia, bukan kuda, pula bukan kendaraan mesin dan lebih-lebih helikopter yang sudah nyata-nyata mereka tak mampu beli (untuk di Gayo Lues, saya tidak yakin ada ladang ganja yang bisa ditembus kendaraan, apalagi pakai truk).

Kita tentu bisa memahami proses itu, yang mana untuk berangkat saja harus menghabiskan waktu sehari, apalagi dengan barang bawaan, memundak. Menurut keterangan, standar per orang hanya 30-35 Kg sekali jalan. Jika satu Ha ladang yang bisa menghasilkan satu ton saja, maka tenaga yang dibutuhkan antara 28-33 orang. Jadi kalau memang cara mereka begitu, rame betul ya.

Kadang memang begitu, jika ada yang panen melimpah biasanya disewa pelangsir. Dulu ongkos langsirnya 10rb/Kg. Mudah saja menghitung pendapatan kuli 'maut' itu, antara 300-350rb rupiah saja. Kalau memang tidak butuh, Anda mau apa?

Bagaimana proses selanjutnya? Katanya kalau dulu mudah saja menemui pihak yang paling diuntungkan itu (Toke), bisa dijemput ke kampung-kampung. Tapi jelas transaksinya tidak blak-blakan seperti halnya menimbang Tembakau. Melainkan sembunyi-sembunyi di kebun-kebun atau malam hari. Selama hidup, saya juga belum pernah melihat transaksi menegangkan itu.

Berapa harganya? Katanya ia tidak pernah menjual di atas satu juta rupiah, bahkan ada juga hanya dibeli puluhan ribu. Nah, lo, kabarnya harganya fantastis begitu, bahkan ada yang menyebut 3jt/Kg. Ada yang tertawa mendengar itu, mungkin di lain tempat kali ya, di Hongkong atau di Cina barangkali. Hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun