Hingar bingar terkait dana desa sedang menggelembung di daerah penulis. Pasalnya, dana segar yang dimiliki masyarakat kampung itu 60% nya sudah ditransfer pemerintah ke rekening mereka. Sudah siap dihanguskan demi kemajuan. Sangat terlambat sebenarnya, karena itu untuk sebagian kampung yang lelet, jumlah SILPA akan berpeluang bengkak lagi.
Sama dengan tahun sebelumnya, penghakiman warung kopi warga yang bisa divonis 'tidak tau apa-apa' seperti silet mengiris Pemegang Kekuasaan dan Pelaksana kegiatan. Tanpa ampun, entah itu benar atau tidak, pokoknya salah. Begitu.
Jika ditanya kenapa begitu. Jawaban mereka tahun sebelumnya begitu. Ditanya tau darimana. Mereka bingung menjawab.
Daerah penulis memang bisa dikatagorikan didiami orang-orang yang kurang berpendidikan---prihal ini saya tidak tau pihak yang bisa disalahkan. Bahkan, sebagian masih bingung merincikan belanja dengan jumlah kocek sepuluh lembar pak Karno. Apalagi sampai satu Milyar.
Karena itu proses penyusunan APBKp (APBDes) saja harus merental jasa orang.
APBKp sudah jadi, selanjutnya proses verifikasi di Kecamatan. Tentu saja tidak ada yang instan. Corat-coret dari pihak kecamatan yang sebenarnya ringan saja, tapi bagi yang kurang pengetahuan dan kurang tanggap apa pun yang digores telah jadi berat. Cukup memusingkan kepala.
Disitu pihak Kecamatan punya 1001 cara 'memalak' orang kampung. Dan orang kampung yang tidak mau ribet menjulurkan tangan dibawah meja. Penegak kebenaran yang tidak benar langsung menyambar Amplop dibawah meja. Stempel verifikasi pun ditancap diatas kertas.
"Kalau sudah cair, jangan lupa ya!" Kata terakhir perpisahan sementara yang tersirat maksud.
Kemudian di DPMK juga bisa jadi sama. Malah, konon corat-coretnya lebih berwana. Jumlah anggaran tidak singkron dengan UU dipermasalahkan, tidak masuk logika dipertanyakan dan kegiatan-kegiatannya diutak-atik.
Orang kampung bahkan tidak tau arti "singkron" dan "logika" serta bahasa "tinggi" lainnya kewalahan. Tradisi bahwa semua pertanyaan itu terkait pulus sudah melekat. Tentu tanpa dikomando orang kampung melakukan trik jitu seperti diatas. Jleb, ternyata jika memang itu maksudnya proses langsung jadi.
"Kalau sudah cair, jangan lupa ya!" Kata terakhir perpisahan sementara yang tersirat maksud.
Lembaran-lembaran rupiah telah ditarik dari Bank. Seharusnya Orang-orang kampung senyum mengembang, namun tidak. Alasannya, konon karena telpon dari pihak penjaga "hulu, badan dan hilir sungai"Â terus berdering, walau tidak blak-blakan (bisa juga terang-terangan) maksud yang seolah tersimpan harus dipenuhi, "kalau tidak nanti kita yang sulit", begitu yakin mereka.
Mudah sekali memang minta bagian dari yang (maaf) tidak pintar, cukup tanyakan hulu dan hilir. Bagi penjaga hulu, dipersulit saja proses penumpahannya dan penjaga hilir jangan mau menampung dulu.
Imbasnya, karena segala bentuk "hadiah" dan upah jasa itu tidak diterima pihak yang memverifikasi dianggarkan, dan tidak mungkin gaji Pelaksana sebagai gantinya, maka untuk memenuhinya Pelaksana 'harus' jadi Maling. Pinter-pinter kau lah.
Nah, sekarang sudah tau kenapa Pelaksana harus jadi Maling? "Kalau memang begitu kejadiannya", catat ini kawan. Saya pun berharap tahun ini tidak begitu.
NB. Apa yang tertulis mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi yang sampai ke telinga penulis seperti itu di tahun sebelumnya. Saya kira jika pihak yang berkewajiban mengurusi hal-hal seperti itu berkeinginan benar, harus lebih teliti lagi, terutama didaerah-daerah terbelakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H