Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangisan Lebaran

27 Juni 2017   21:47 Diperbarui: 27 Juni 2017   21:49 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Allaaahuakbar Allaaahuakbar Allaaahuakbar! Allaaaaahuakbar Walillahilham ... .”

Suara takbir menggema. Masih di subuh buta, dari corong toa suara bilal berdendang merdu. Alunannya berirama. Berhasil mengundang hati para pemenang menepiskan pelukan selimut: bergegas membersihkan tubuh, penuh semangat meski air seolah mampu membuat beku.

Di subuh itu, MCK Kampung penuh antrian. Menunggu giliran mandi sambil menggigil, karena hawa begitu sejuk. Demi membunuh rasa dedengkot bosan, mereka bercakap-cakap. Tak ketinggalan juga Mamad. Dari mulutnya hembusan asap tembakau terus disembulkan, guna sedikit mencari hangat. Karena darinya senyuman terpancar, orang-orang turut bersyukur.

Sementara menunggu giliran dan suara takbir terus menggema, perlahan antrian memendek.

***

“Ham jaga adikmu. Bapak Salat sebentar.”

“Iya, Pak.”

Sambil menoleh pada Ren yang sedang didekap sang Ibu, anak sepuluh Tahun itu menyanggupi amanah. Ren turut juga menoleh dari pelukan Ibunya. Istrinya, Sami memejamkan mata perlahan.

“Jangan tinggalkan rumah sebelum bapak pulang.”

“Iya, Pak.”

Mamad beranjak menuju sumber takbir, Masjid, meninggalkan rumah mereka yang sunyi dari suasana lebaran.

Dalam perjalanan yang tidak begitu jauh Ia terus bersalaman. Menjabat erat tangan para sahabat dan semua kaum Adam yang berlewatan, sambil memohon ampun atas semua khilaf. Orang-orang bangga menyambut dan balik bermaksud sama, meminta maaf.

***

Aura kemenangan begitu terasa dalam himpitan manusia. Sebab para pecundang masih banyak diluar sana: lebih memilih berbaring dalam hamparan kasur dan berselimut kain tebal dengan iler memenuhi bantal.

Aroma iman tercium nyata. Sebab para pendosa enggan sujud meski hanya setahun sekali: mereka memecah tembok malu dengan alasan basi ‘tak ada guna menjalankan sunnah tapi yang wajib terbengkalai’—cukup itu saja, mereka sudah merasa aman dari malu.

Setelah Salat Tahiyatul Masjid Ia bersila, ikut hanyut dalam takbir.

Matahari perlahan bangkit di ufuk timur, memberi penerangan. Dalam siklus hari, kini siang ambil peranan. Suara Imam lantang menuntun takbir demi takbir Salat Ied. Jamaah khuyuk mengikuti.

Diluar angin pagi meriakkan sisiran daun kelapa yang terbalut tetasan embun, pelan. Busa-busa embun menghalangi pandangan. Memutih, mencumbui bumi. Hati yang adem karena telah kembali suci, bertambah sejuk dengan hadiah alam.

Salat Ied telah usai. Para jamaah silih berganti meninggalkan Masjid. Luapan gembira kental dirasa. Mamad masih tafakur. Mungucap syukur padaNya, karena hadiah ramadan begitu istimewa untuk keluarganya, meski tidak berupa barang. Air matanya menetes.

***

“Bagaimana keadaan Sami?”

Perempuan paruh baya, tetangga mereka, menenteng sepotong lemang dan kantong keresek untuk diberikan pada keluarga Mamad. Sekampung mereka tau, kalau Mamad dan keluarga tidak membuat lemang dan kue di lebaran ini, selain tidak ada yang buat juga uang habis untuk membeli obat—sangat sepi dari suasana lebaran.

“Sudah baik Kak. Tadi malam nafasnya tidak lagi sesak.”

Sebelum mendorong daun pintu rumah sederhana mereka Mamad memberi keterangan prihal istrinya. Dan perempuan itu mengekor di belakangnya.

“Silakan masuk Kak.”

Mamad mempersilakan masuk.

“Assalammualaikum.”

“Walaikumsalam.”

“Mana Ham dan Ren nya?”

Mendengar Bapak mereka sudah datang Ham dan Ren keluar dari kamar.

“Ini Lemang Ren.”

Perempuan itu menyodorkan bawaannya. Keduanya yang memang suka sekali dengan lemang. Ren yang masih berusia empat tahunan langsung menyambar dan Ham malu-malu.

“Mana Emak?”

Tanya Mamad.

“Tidur. Gak mau dibangunin.”

Tak ada yang tau, seorang anak manusia sampai kapan di dunia. Disaat glamornya Lebaran menggema, terkadang di situ pula hembusan nafas tiba-tiba membenci jasad, dan memilih berhenti. Sangat tidak disangka, yang mana sejatinya luapan gembira menggelora, malah air mata yang tumpah. Dalam kondisi demikian, memang siapa pula yang tahan?

Mamad terus menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, memanggil namanya. Mukanya sembab, kusam dan kusut. Ham yang sudah agak berumur, lebih dulu menangis sejadi-jadinya. Ren yang tadinya mengunyah lemang, kini ikut menangis melihat abangnya yang histeris.

“Jangan tinggalkan kami Mak. Sama siapa lagi nanti kami Mak. Huhuhu...”

Dalam tangisan, Ham memprotes kepergian Ibunya. Cegahannya yang tidak sama sekali dibaluti  acting tidak dihiraukan Ibunya. Sama sekali tidak Sami peduli, walau yang dengan sedikit gerakan.

Dengan bantuan perempuan paruh baya Mamad membopong tubuh Sami yang kaku ke ruang tamu, air matanya sudah menetes. Perempuan paruh baya cekatan membuka Lemari, mencari kain untuk menutupi Jasad yang pergi.

Setelah tubuh Sami diselimuti, isak tangis Ren semakin menggebu-gebu. Air matanya serupa banjir mengalir. Lemang yang sedari tadi Ia genggam dilempar sekenanya. Seolah ia baru sadar kalau nasib yang sungguh malang telah menimpa.

Mamad yang awalnya tegar, kini sesengukan memeluk Ren, putra bungsunya. Wajar saja kalau Ia terpukul dalam, karena baru saja Ia mengaku: membaiknya kesehatan istrinya yang sesak nafas merupakan hadiah lebaran dariNya. Tapi, apa? Ia hanya bisa pasrah atas keputusanNya.

Sepontan warga yang sedang tenggelam dalam euforia lebaran kaget, mendengar kedua anak yang tampa ampun ditinggal ibunya menangis. Rumah warga memang menumpuk, hal itu membantu mempercepat berita tersebar. Semua warga berduyun-duyun ke rumah duka.

Semua pelayat sadar, bahwa nyawa tidak bisa diganggu gugat. Mau menetap lama dalam tubuh, tidak bisa dicegah. Begitu pula saat mau pergi, tidak bisa dihalangi walau dengan alasan sebab kasihan anak yang ditinggal masih kecil. Tidak bisa. Nyawa semaunya saja.

“Inna lillahi wa inna ilayhi roji’un! Telah berpulang ke Rahmattullah Sami istri Mamad ...”

Suara keras dari Toa Masjid membuat sebagian warga yang belum tau terkaget. Malah lebih kaget dari yang lebih dulu tau. Memang lafaz Inna lillahi wa inna ilayhi roji’unyang diumumkan bilal penuh teka teki dan seolah mengancam dirinya. Semua warga yang mendengar turut serta mengucap Inna lillahi wa inna ilayhi roji’un.***

Catatan: berdasarkan kisah nyata lebaran ini: tetangga.

Gayo Lues, H+1 Lebaran 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun