Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangisan Lebaran

27 Juni 2017   21:47 Diperbarui: 27 Juni 2017   21:49 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanya Mamad.

“Tidur. Gak mau dibangunin.”

Tak ada yang tau, seorang anak manusia sampai kapan di dunia. Disaat glamornya Lebaran menggema, terkadang di situ pula hembusan nafas tiba-tiba membenci jasad, dan memilih berhenti. Sangat tidak disangka, yang mana sejatinya luapan gembira menggelora, malah air mata yang tumpah. Dalam kondisi demikian, memang siapa pula yang tahan?

Mamad terus menggoyang-goyangkan tubuh istrinya, memanggil namanya. Mukanya sembab, kusam dan kusut. Ham yang sudah agak berumur, lebih dulu menangis sejadi-jadinya. Ren yang tadinya mengunyah lemang, kini ikut menangis melihat abangnya yang histeris.

“Jangan tinggalkan kami Mak. Sama siapa lagi nanti kami Mak. Huhuhu...”

Dalam tangisan, Ham memprotes kepergian Ibunya. Cegahannya yang tidak sama sekali dibaluti  acting tidak dihiraukan Ibunya. Sama sekali tidak Sami peduli, walau yang dengan sedikit gerakan.

Dengan bantuan perempuan paruh baya Mamad membopong tubuh Sami yang kaku ke ruang tamu, air matanya sudah menetes. Perempuan paruh baya cekatan membuka Lemari, mencari kain untuk menutupi Jasad yang pergi.

Setelah tubuh Sami diselimuti, isak tangis Ren semakin menggebu-gebu. Air matanya serupa banjir mengalir. Lemang yang sedari tadi Ia genggam dilempar sekenanya. Seolah ia baru sadar kalau nasib yang sungguh malang telah menimpa.

Mamad yang awalnya tegar, kini sesengukan memeluk Ren, putra bungsunya. Wajar saja kalau Ia terpukul dalam, karena baru saja Ia mengaku: membaiknya kesehatan istrinya yang sesak nafas merupakan hadiah lebaran dariNya. Tapi, apa? Ia hanya bisa pasrah atas keputusanNya.

Sepontan warga yang sedang tenggelam dalam euforia lebaran kaget, mendengar kedua anak yang tampa ampun ditinggal ibunya menangis. Rumah warga memang menumpuk, hal itu membantu mempercepat berita tersebar. Semua warga berduyun-duyun ke rumah duka.

Semua pelayat sadar, bahwa nyawa tidak bisa diganggu gugat. Mau menetap lama dalam tubuh, tidak bisa dicegah. Begitu pula saat mau pergi, tidak bisa dihalangi walau dengan alasan sebab kasihan anak yang ditinggal masih kecil. Tidak bisa. Nyawa semaunya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun