“Bukan. Tapi kamu win. Yang capek kerja kan kamu.” Usul kakeknya. Yang sebanarnya ngiler lihat buah menggoda itu.
“Jeruknya disimpan saja buat buka Wan.” Ia pun kembali khusyuk bekerja.
Sebenarnya sang kakek kasihan melihatnya kerja, padahal ia masih ditekan puasa. Gaya memutar perkatan itu tidak lain hanya sebagai isyarat kalau sang Kakek memberi restu ia berbuka lebih awal. Maksud kasihan kakeknya sirna dihempas kedalaman iman dalam dadanya.
Barang siap dikemas. Selanjutnya dengan bantuan Kereta Sorong mereka mengangkut ke Kampung. Warung yang menampung telah menunggu. Untuk selanjutnya pengepul mengolah Singkong yang mereka jual menjadi kolak dan pisang mentah sebagai keripik pisang. Terkadang Kolak yang sudah jadi, mereka beli kembali sebagai hidangan berbuka.
Meski uang telah terkumpul. Namun ada saja halangan menimpa. Sarung baru untuk lebaran tidak jadi terbeli. Baru saja hutang operasi Katarak Neneknya lunas, kini giliran sang Kakek yang jatuh sakit.
Kebiasaan kakeknya yang sudah dari dulu mengisap keretek, kini membuat ulah, paru-paru basah menggerogoti tubuhnya. Awalnya sang kakek enggan dirawat ke rumah sakit. Yang diderita merupakan penyakit usia, menjadi alasan kakeknya. Dengan perhitungan tanggungan BPJS Kesehatan, Sahir memaksa. Ia tahu itu setelah operasi neneknya.
Namun, kali ini persoalannya jadi beda. Walau pun Kartu KIS telah digenggam, ada saja usulan Apoter RSUD untuk membeli tablet Pil ke Apotek Swasta, karena tidak tersedia. Ia balik mengadu pada dokter pemberi resep, meminta solusi. Nihil, tetap saja harus dibeli.
Bagi ukuran kantong mereka, harga satu tablet Pil Rp. 100.000 jelas membuat kepala pusing. Pil itu tidak ngaco. Jika sang kakek mau sembuh, saban hari harus ada dua butir pil ajaib tertelan, begitu keterangan dokternya.
Dengan uang terkumpul, hitungan matematisnya lebaran tahun ini ia tak akan beda dengan anak lainnya: Kue lebarang pasti terhidang serta Sandal baru, Baju baru dan tentu Sarung baru pasti terbeli. Tapi uang itu telah ludes untuk memenuhi obat sang kakek dalam sepuluh hari. Untuk selanjutnya ia telah melirik celengan, yang sudah semenjak SD ia menabung. Maksud hatinya, Celengan Bambu yang sudah berat itu akan pecah saat ia kuliah nanti. Tapi ia ikhlas harus dipecahkan lebih awal.
Sementara kakeknya terbaring lemah, dan harus mengonsumsi obat wajib dengan harga selangit. Harum kue yang dipanggang dan digoreng tercium menyengat dari rumah-rumah tetangga. Sapi dan Kerbau jantan sehat telah bertumbangan dengan leher terhunus benda tajam. Selanjutnya akan dibagi ke setiap warga yang menyetor Rp. 300.000, bagi adil, jelas mereka tidak dapat. Kambali tidak ada perbedaan dari lebaran sebelumnya, pikirnya. Ia hanya bisa menghela napas, menerima serela mungkin kalau lebaran tinggal menghitung jam, tak lebih dari lima belas jam lagi.
Tidak lama lagi waktu berbuka, seseorang berdiri di ambang pintu, mengetuk daun pintu berbahan pinus yang telah keropos karena semenjak ia ingat tak pernah diganti. Setelah ia membuka, sesosok yang samar-samar ia kenal tersenyum padanya. Seolah tak asing, tapi ia lupa siapa, apalagi harus memanggil apa. Meski begitu, lelaki paruh baya yang terus tersenyum itu ia persilakan masuk.