Memang kondisi hidupnya serba sulit, yatim piatu minus warisan, yang tinggal dengan sepasang tua dengan serba kekurangannya. Walau pun berselimutkan keterbatasan itu, sama sekali tidak membuat lentur keimanan anak yang masih 13 tahun itu.
Usianya yang masih belia dipaksa nasib menjadi tulang punggung. Sepulang sekolah dan pada hari libur Ia selalu bermain di sepetak kebun mereka, bekerja tepatnya. Terkadang kedua pengasuhnya membatasi. Tapi pikirannya yang sudah melampaui anak seusianya, membuat kakek-neneknya tak kuasa mencengah. Ia tetap berpuasa dengan setumpuk pekerjaan itu.
Di Kebun mereka yang serba-serbi—ditanami Singkong, Pisang dan bermacam buah-buahan lainnya, seperti Jeruk, Mangga dan Jambu Air—siang itu mereka bertiga. Mengemas Singkong yang sudah dicabut dan Sisir-sisir pisang ke dalam karung. Ramadan tahun lalu, Jeruk dan Mangga panen melimpah, membuat mereka bisa bernapas lega, tapi tetap saja Sarung baru untuk lebaran tidak terbeli. Kini kedua tanaman yang laku keras itu tidak berbuah.
Dalam aktivitas itu, tentu saja Sahir yang paling sibuk. Dengan cekatan Ia sukses menyempitkan lelehan tenaga dari kedua makhluk pemilik tulang yang terbungkus kulit keriput menemaninya, seperti biasa sejak ia menginjak SMP.
Matahari baru saja memulai perjalanan menurun dan langit tanpa hiasan awan. Meski cahayanya sedikit terhalang dedaunan Pohon mangga yang sudah menjulang. Tetap saja keringat deras mengalir di sekujur tubuhnya.
“Win**. Lihat ada jeruk matang,”Kakeknya menunjuk sebuah jeruk lima manis yang sudah sepenuhnya merah. Sahir menoleh. “Sayang kalau dimakan Tupai.”
“Iya, Wan***. Cuma satu lagi.”
“Panjat sana.”
Ia pun bergegas memanjat. Dan berhasil memetik buah Jeruk yang ranum itu.
“Itu enaknya dimakan panas begini.”
“Haha. Awan mau?”