Anjloknya berbagai (tidak total) harga hasil pertanian, sebagai pelengkap nyanyian pilu atau semacam siksaan bagi sebagian petani di bulan Ramadan ini.
Ya, tentu yang menderita bukan mereka para petani yang sudah dilabeli sebagai 'petani bourjois', karena pasti kaum yang sudah berlevel tinggi itu punya simpanan yang bisa dibelanjakan.
Melainkan petani yang kurang pendidikan. Karena mereka tidak pernah memikirkan ihwal permintaan pasar. Maka tidak jarang mereka memproduksi barang yang tidak laku di pasaran atau tidak terlalu laku. Selain itu kebanyakan mereka ikut (-ikutan) menjadi petani karena bercermin dari ‘bringas’nya harga sebelumnya, petani plin-plan. Yang seperti itu yang menyakitkan, jika pas mereka panen harga kebetulan merosot.
Jadi, memang seyogianya petani mengikuti pelajaran Menejemen, “produksilah barang yang laku dijual, bukan sebaliknya.” Soal bagaimana menerawang, jangan tanya ke saya. Hehe.
Di kampung penulis ada beberapa tanaman yang dibudidayakan petani, umumnya Gayo Lues. Yang tergolong tanaman jangka pendek yaitu cabai (rawit dan keriting), bawang merah, tembakau dan berbagai jenis sayuran (termasuk tidak banyak hasil). Yang tergolong tanaman jangka panjang yaitu minyak atsiri (serai wangi dan nilam), kopi (belum banyak), cacao (lumayan banyak) dan kemiri (agak banyak).
Harga terbaru (06/06/2017) dari ke semua hasil pertanian jangka pendek, hanya bawang merah yang mulai sedikit berharga. Setelah sebelumnya tidak ada tauke atau pengepul yang mau membeli, maka harus ‘diobral’ ke pasar Blangkejeren yang tidak seberapa menyerap. Kini sudah ada tauke sudah mulai membeli dari petani. Walau pun harganya masih di bawah Rp. 10.000/kg, tapi itu menjadi pilihan utama dari petani.
Selain itu, harga kedua jenis tanaman jangka pendek lainnya masih jauh dari harapan para petani. Cabai Merah Keriting (CMK) masih anteng di sekitaran Rp. 2000, yang hijau tidak laku dan untuk Cabai Rawit Hijau Rp. 4000/kg. Sedangkan harga untuk Tembakau—yang mana tanaman ini sudah memiliki sejarah panjang di Gayo Lues—juga sangat jauh dari harapan.
Selain yang tergolong dalam tanaman jangka pendek, sebagian tanaman kebalikannya juga memiliki harga yang cukup rendah dan kadang tidak musim berbuah. Hanya satu tanaman yang menjadi ‘malaikat’ penolong di bulan ramadan ini, yaitu Serai wangi. [untuk lebih jelas tentang Serai wangi sebelumnya saya pernah menulis: di sini minyak atsiri menghasilkan dan perlu perhatian]
Tumbuhan yang bernama latin Chimbopogon Nardu itu cukup banyak dibudidayahakan di Gayo Lues. Selain sebagai penghasilan sampingan dan banyak juga sebagai usaha utama. Alasannya: selain pertumbuhan tanaman perdu itu sangat subur juga perawatannya tidak terlalu rumit, seperti layaknya tanaman lainnya.
Minyak atsiri yang mengandung Citronelladan Granoil—alasan nyamuk tidak suka—itu dihargai cukup mahal, yaitu Rp 225.000/Kg. Harga itu pemecah rekor, karena beberapa bulan sebelumnya atau tahun lalu masih di bawah Rp 200.000/Kg.
Pertama, yang tidak punya kebun serai wangi bisa menego pada yang punya kebun untuk memanen (menyuling, bahasa gayonya Ngukus) dengan cara bagi tiga hasil: satu bagian untuk yang punya kebun dan dua bagian untuk kita yang memanen. Ini sudah biasa terjadi.
Satu hektar serai wangi dapat menghasilkan sekitar 70 kg minyak atsiri (tergantung cuaca dan umur Serai wangi). Jika harganya Rp. 225.000/kg, satu hektar bisa menghasilkan uang Rp. 15.750.000. Kalau kita punya sendiri kan lebih dari cukup untuk puasa dan lebaran. Bagaimana kalau kita memanen punya orang? Ya, lumayan juga kan. Kalau kita sendiri akan dapat Rp. 10.500.000. Dan seandainya duet, per orangnya masih dapat Rp 5.250.000. Dengan uang segitu saya kira sudah lebih dari cukup membeli blouse lebaran untuk istri, bukan? *tapi pengerjaannya sangat tidak mudah kawan.
Begitu untuk yang tidak punya kebun. Bisa kan?
Tapi, terkadang niat hati ingin memperirit biaya, minyak ‘mulia’ itu disimpan dulu. Baru nanti pas hari-hari mendekati lebaran baru dijual. Eh, malah para pengepul tidak mau lagi membeli, seperti tahun kemaren, banyak yang kecewa.
Bukan tidak laku, tapi uang cash pengepul sudah tidak ada dan bank sudah libur duluan untuk dicairkan. Loh, kok bisa? Ya bisa dong. Konon, beredar kabar rupiah yang dapat diperas dari daun tanaman rimbun itu akan menyalip jumlah APBK Kab. Gayo Lues. Maka saya pun berdo’a, semoga tahun ini para pengepul menyiapkan masing-masing uang tunai segudang. Hehe.
Gayo Lues, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H