Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setelah Ahok Kalah, Hak Angket KPK dan Pembubaran HTI Jokowi Akan Kurus di Pilpres 2019?

10 Mei 2017   22:50 Diperbarui: 10 Mei 2017   23:07 2076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://www.beraninews.com/2016/06/Tax-Amensty-Akhirnya-Resmi-Dimulai-Ini-Ancaman-Mengerikan-Jokowi-Buat-Yang-Membangkang.html

“Berteman dengan tukang Minyak Wangi harum baunya tercium juga, dan andaikata berteman dengan tukang besi debunya pasti menjadi daki.”

Kontestasi Pilkada DKI Jakarta telah usai. KPUD Jakarta juga sudah merilis hasil. Suara terbanyak ada di pihak Anies-Sandi, meninggalkan Ahok-Djarot cukup jauh. Karena Jakarta Barometer politik tanah air, maka tidak tertutup kemungkinan parpol pendukung pasangan Ahok-Djarot sudah basi juga di daerah lain Indonesia. Juga sekarang Ahok telah dimakan Harimaunya, divonis dua tahun penjara karena salah masuk kamar mertua, perkataan yang mencederai umat Islam penyebabnya.

Seperti kita ketahui jabatan Ahok bukan jerih payahnya semata. Melainkan hadiah dari temannya (Jokowi) yang bertuah meloncat lebih tinggi, menjadi Presiden karena memenangkan pilpres 2014. Meski Prabowo (Gerindra) turut andil didalam pemenangan pertarungan, prabowo memang layak disebut king maker, tapi Ahok lebih memilih murtad—tidak mau berteman dengan Prabowo Cs—hingga ahok efek tidak terinfeksi pada tubuh prabowo, malah baginya akan menguntungkan apalagi jika digoreng tentu semakin renyah.

Ahok lebih memilih akrab dengan Jokowi, serta tentu saja dengan PDI P, walau mulanya dihiasi dengan sifat malu-malu kucing—saat membentuk teman Ahok.

Karena Ahok dan Jokowi begitu intim—ada juga keduanya ‘bertamasya’ diatas Mobil kepresidenan—hingga wajar sebagian timses Badja dalam mendulang suara di kontestasi pilkada kemaren  sering berkampanye bahawa keputusan Ahok jelas mendapat persetujuan dari Jokowi, anggapan sebagai dwitunggal dihembuskan.

Kemudian hal itu akan dijadikan senjata pemusnah bagi kaum kontra untuk mengubur Jokowi di pilpres 2019, dan sudah dimulai dari sekarang. Ya, itu memang risiko memiliki teman.

Lolosnya Ahok dari beberapa kasus—yang fenomenal Sumber Waras dan Reklamasi—yang pernah menjeratnya sering dijadikan racun oleh mereka yang membenci untuk membunuh Jokowi, dikambinghitamkan melakukan intervesi. Sepertinya racun itu akan berhasil di 2019. Apa pasal? Banyak votter Jokowi-Jk di pilpres lalu yang sudah membuang muka.

Biang kerok pembalikan 180 derajat sifat pemilih tak lain sebab hembusan adanya hubungan antara Jokowi dan Ahok. Meski Ruhut Sitompul pernah beranalogi "Saya juga punya 7 teman perampok. Masak saya juga perampok?" saat membela Ibas, tapi sayang pemegang hak pilih kan tidak semua sama otaknya dengan Ruhut. Salah satu contoh, di daerah saya ada seorang pemilih garis keras Jokowi-Jk, dikatakan begitu karena tanpa ada kamando dari siapa pun 2014 lalu, ia malah berlaku layaknya timsus Jokowi-Jk.

Ia—saya sengaja tidak sebut nama di sini—rakyat biasa. Ceritanya tepat saat pencoblosan Pilkada DKI kemaren ia dan satu temannya merontok padi saya, Ia tukang rontok padi. Setelah rontokan selesai, kami terjebak hujan di Gubuk Sawah. Jam 3 sore ketika itu, tiba-tiba ia bertanya pada saya: siapa kira-kira pemenang Pilkada DKI? Ia tampak gelisah. Mungkin karena tidak bisa Update Berita dari TV.

Nah, oleh temannya yang tau internet disuruh saya akses dari smartphone. Saya tolak karena takut disambar petir. Eh, dianya agak memaksa, gak ada kilat katanya. Saya buka cepat-cepat Litbang Kompas, "Ahok kalah" kata saya, kemudian saya matikan lagi sinyalnya. Dianya senang. Katanya dalam do'a juga ia meminta agar Ahok kalah. Padahal ketika saya lihat Quick Count baru 50 sekian persen suara terkumpul. Hehe.

Karena ingat cerita itu, setelah mendengar berita Ahok divonis 2 tahun penjara, iseng saya tanya kalau pilpres tetap dukung Jokowi atau gimana. Eh, dia bilang tidak. Ditanya kenapa, dia jawab karena Jokowi teman Ahok. Saya hanya bisa bilang "Oooo." karena teringat paragraf pertama.

Ancaman badai akibat ‘pertemanan’ jokowi semakin bertambah, saat adanya inisiatif dari DPR untuk melayangkan Hak Angket untuk meng‘kurus’kan KPK yang tengah mendalami kasus e-KTP, yang kesemuanya gerombolan pendukung pemerintah (Jokowi). Kendaraan utama Jokowi (PDI P)  dan kendaraan yang sudah ngobral diri ke Jokowi (Golkar) menjadi dalang.

Seperti kita ketahui KPK adalah rakyat. Mencederai KPK sama saja dengan menyakiti rakyat. Karena faksi-faksi pendukung Hak Angket berada di belakang Jokowi, jelas pihak oposisi dengan mudah memaparkan ke rakyat kalau Jokowi turut meridhoi. Saya kira rakyat akan mudah percaya karena ada jalurnya.

Lagi-lagi Jokowi berpeluang disingkirkan dengan ‘plintiran’ informasi dari Hak Angket yang diduga akan memarjinalkan langkah KPK dalam menindak Korupsi. Malah citra partai Demokrat kembali terangkat karena tidak berusaha mengajukan Hak Angket saat kader-kadernya babakbelur dihajar KPK pada zaman SBY. Besar kemungkinan Capres dan Cawapres yang diusung Parpol pendukung Hak Angket di Pilpres nanti akan dihukum rakyat. Andai itu Jokowi, seperti yang diumumkan Golkar akan mendukungnya, maka Jokowi akan terkena getahnya.

Dan baru-baru ini, Pemerintah menegaskan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terindikasi kuat melanggar atau melawan Pancasila dan UUD 1945. Melalui Menkopolhukam, Wiranto, pemerintah mengumumkan akan menghilangkan HTI di bumi Indonesia.

Pemerintah yang selama ini sudah dianggap sebagian kalangan tidak ramah dengan Ormas keagamaan, terutama Islam,  kini niat pembubaran HTI menambah kuat dugaan itu. Pengidola HTI akan mengecam langkah yang diambil. Mereka-mereka tentu akan menuding muka Jokowi selaku pimpinan pemerintah.

Saya kira jumlah anggota dan Fans HTI di seluruh Nusantara tidak sedikit. Apalagi kader HTI sangat militan memperbesar diri. Saya sendiri sudah beberapa kali dibujuk-rayu menjadi bagian mereka, walau tidak jadi kader gak apa, mendengar pengajian saja, ajaknya.

Saat kuliah (2009), HTI melakukan pendekatan sangat romantis pada saya dan teman-teman kuliah, layaknya PDKT pada cewek jutek. Karena ada sebagian kader HTI satu Almamater, jadi demi mau bergabung segala urusan kuliah dibantu. Kalau mau ikut pengajian mereka, biar meraka antar jemput. Walau saya tidak ikut bergabung, saya yakin melalui kebaikan seperti itu ada juga yang turut bergabung.

Di Jogja juga saya pernah dijinakkan. PKL ketika itu (2013). Salah satu pekerja IKM batik tempat Praktik saya ada Kader atau Fan nya HTI, saya tidak sempat memastikan. Orangnya sangat ramah, saat-saat jam istirahat selalu mengajak saya bercakap-cakap. Pendidikan yang saya serap dari IKM itu banyak terjulur darinya. Suatu hari ia sedang khusuk membaca selembaran, mirip yang biasa disebar saat Jum’atan. Saya tanya baca apa. Rupanya selembaran itu berisi kritik pedas pada pemerintah, saya sudah lupa tentang apa. Saya ingat pernah bilang, “Kebijakan pemerintah kan untuk kebaikan bersama Mas.” Dianya menangkis dengan penjelasan panjang kali lebar. Terakhir ia menyatakan, “Pokoknya Aku demennya ya sama HTI, kritik pemerintah sampai akar-akarnya.” “Sip lah Mas!” kata saya. Kemudian, “Kritik doang, sama aja bohong.” Dalam hati.

Sudah balik Kampung (2014), rupanya HTI sudah sampai juga di Kabupaten saya. Sudah sering melakukan pengajian-pengajian. Saya pernah diajak ikut pengajian, guru orangnya, katanya penceramahnya dari Jawa. Sambil ia menanya-nanya seperti apa pergerakan HTI di pulau jawa, Bandung khususnya. Ia seolah kaget ketika saya katakan tidak masuk HTI. Katanya HTI di Kabupaten sudah banyak anggotanya, ratusan katanya.

Selain itu ada juga di perkantoran, saya punya teman kerja dari kader HTI. Apa ia mengajak saya bergabung? Ya, jelas. Saya lebih enak menolak, soalnya sebaya sih dan orangnya tidak terlalu militan ngomong, gak tau karena malu atau saya nya berbelit-belit.

Mereka yang pernah mengajak saya memang tidak terlalu memaksa saya masuk, tapi halus sekali rayuannya, awalnya saya sulit mencari alasan menolak. Karena itu, saya yakin mereka pasti sudah bersayap lebar. Asumsinya dari Kabupaten saya, ada seratus saja anggota atau penggemarnya: 100 orang x 416 Kabupaten = 41.600 seNusantara, lain lagi Kota—andai kadernya menyerang pemerintah (Jokowi) dengan melakukan pencucian otak rakyat untuk tidak memilih Jokowi di Pilpres, tentu Jokowi akan semakin ‘kurus’ jika ikut bertarung di Pilpres 2019, bukan?

Tapi seremeh itukah pak jokowi? Saya kira tidak. Terlepas dari benar tidaknya, seliweren opini bahwa jokowi sebagai 'dalang' pengobok-obok partai menguatkan kalau jokowi layak diperhitungkan lebih. Apalagi Golkar partai yang berisi para dedengkot politisi negeri ini dapat ditarik ke rangkulannya. Meski kelihatannya golkar yang merengek, tapi siapa yang tau di otak Pak Presiden? Kerja sama politik pasti sama-sama menguntungkan.

Akhirnya: Majulah Pak Jokowi! “Kerja. Kerja. Kerja.” Rampungkan Nawacita, saya yakin hati Rakyat akan kembali tertampung.

Majulah Indonesia!

Gayo Lues, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun