Ketika kuliah dulu, suatu hari dalam kelas pertama, setelah perkenalan sebelum memulai materi yang ‘memuakkan’, Dosen pernah bertanya: Apa tujuan kalian Kuliah?
Tentu saja jawaban Mahasiswa baru seruangan itu beragam. Karena program kuliah yang kami—Saya dan teman-teman—jalani dituntun untuk mandiri pascapendidikan. Jelas, semua jawaban dari kami bertujuan sangat mulia. Setidaknya yang negara kita butuhkan, tidak merengek pada Ibu pertiwi yang terus diterpa kondisi semakin ringkih sebab nutrisi kian hari terus tersedot tanpa utuh teraliri manfaatnya ke sekujur sel-sel tubuh, yaitu berprospek menciptakan lapangan kerja—minimal utuk diri—selanjutnya tentu meningkatkan pendapatan individu dan kelompok. Kemudian jika dihitung-hitung akan memberi suntikan gizi pada ‘Ibu’ yang sekarat tadi, bukan? Ya, melalui pembayaran pajak.
Juga jika berhasil akan mampu mereduksi para pengangguran yang selama ini menjadi penyakit akut NKRI. Yang belum kunjung ditemukan penawar mujarab oleh mereka-mereka yang melamar atau ditunjuk menjadi ‘dukun’ (baca: pemerintah). Walaupun tidak bisa ditepis juga, beredar anggapan bahwa ‘pemangku’ Negeri dengan mudahnya menjebloskan tenaga asing. Yang lebih menyakitkan seolah tidak ada lagi pencari kerja. Karena anak-anak luar itu ‘menyusu’ ke tubuh ibu pertiwi secara ilegal.
Kami-kami itu merupakan salah satu olahan para Dukun, diharap akan bernilai lebih dari penawar lainnya.
“Coba kalian pikirkan. Meski kalian serius, apa yakin kuliah dapat merealisasikan tujuan itu?”
Pertanyaan dosen itu cukup mengundang pesimis. Kami semua mencoba mengolah jawaban. Pucat dan lemas. Sedangkan Dosen tersenyum sinis.
“Tidak ada jaminan sukses dengan selembar izajah.” Sambil menenteng selembar kertas materi kuliah dengan tangan kiri beliau dan memperagakan ekspresi jijik. “Meski tertera didalamnya Cum laude!”
Ah, bukan kah itu cukup menjatuhkan mental yang sedang membara? Mungkin tidak juga. Tapi, ya begitu bagi kami. Apalagi setelah beliau memberi contoh nyata (katanya): seorang lulusan terbaik dari Kampus kami menuntut ilmu yang langsung dipinang perusahaan tekstil, karena pada praktiknya the best of the best itu tidak memenuhi kriteria yang diharapkan perusahaan dan hanya dipakai tidak sampai tiga bulan, padahal tiga bulan waktu uji coba yang dijanjikan.
Walau kebenaran cerita itu masih misteri. Bisa jadi hanya karangan beliau untuk prize ‘mengerikan’ dalam setiap perkenalan dengan Maba (kemudian kami menyebutnya hadiah istimewa). Setelah penjelasan panjang lebar, terbaca, bahwa Beliau hanya ingin menekankan sesempurna mungkin, pada umumnya ‘apa yang didapat dalam kuliah tidak sama persis dengan permainan di lapangan’, begitu ringkasnya. Pendidikan formal tidak menjamin segalanya. Solusinya singkat saja: baca dan baca, apa saja yang bisa menjadi kemungkinan (peluang) dan action.
Maka, sekarang saya—terlepas dari tujuan utama kuliah—tidak memilih dulu sebagai karyawan kantoran. Kecuali ada tawaran yang ‘wah’, mungkin lain cerita.
Pada kenyataannya, memang, pendidikan yang baik tidak menjamin ‘kesuksesan’ hidup. Terutama sukses dalam kategori materi. Kita tidak terlalu sulit mendapatkan contohnya, bukan?
Kejadian itu di daerah penulis sedang jadi fenomena baru. Tidak sedikit para anak muda—bahkan ada yang sudah tidak muda lagi—yang berpendidikan terpandang malah terlihat seperti pecundang. Mereka-mereka terpaksa atau memilih sendiri memperparah penyakit yang diindap Ibu Pertiwi tadi, mejadi pengangguran.
Sedangkan yang tidak sekolah atau putus sekolah sibuk berkarya (kerja) dengan impian-impian yang mencengangkan. Jika dikalkulasi mereka-mereka memang dapat meraupnya. Bahrin salah satu contohnya.
Bahrin tau, apapun terjadi hidup harus terus berlanjut. Sehingga sifat bermalas-malasan ia buang jauh dari kamus hidupnya. Meski sejak kecil bercita-cita jadi Tentara, tapi nasib memotong langkah, lantas ia tak pernah putus asa bekerja sebagai petani. Ia tetap bangga.
“Lebih ingin panen segera tiba, daripada memikirkan jadi Tentara.” Jawabnya saat ditanya, apa masih ingin jadi Tentara.
Bahrin telah melupakan cita-cita masa silamnya. Ia sekarang fukos dengan kerjaannya sebagai petani/pekebun, selain penghasilan triwulannya dari Sere Wangi (Panen tiga bulan sekali) ia juga rutin menanam bawang merah dan cabe keriting. Dan ia telah menetapkan cita-cita baru: bisa naik Haji semuda mungkin.
Nah, sekarang kita dapat berasumsi lebih baik mana (berdasarkan Materi) antara Bahrin yang dapat satu Ton cabe per tahun dengan harga 30 ribu per Kg dengan seorang sarjana kerja kantoran yang diberi upah kurang dari 3 juta perbulan?
Nyatanya, terkadang PNS yang masih di seputaran Golongan III memandang ‘iri’ pada Petani yang panen cabe atau bawang merah dengan luas satu atau dua Mulsa. Apalagi yang menanam lebih dari lima Mulsa. Bayangkan?
Akhirnya tulisan ini tidak hendak (ingin) mendiskreditkan pendidikan. Pada dasarnya saya juga mengakui Negara kita perlu pendidikan yang lebih baik. Sebab saya juga khawatir dengan apa yang dikhawatirkan Almarhum KH. Zainuddin MZ terhadap negara kita “Sperti Rumah Sakit....dengan fasilitas yang mewah, namun isinya orang sakit.”Begitu kira-kira apa yang pernah saya simak dalam salah satu ceramah Beliau.
Namun, ya apa salahnya sembari menunggu lowongan kerja yang sesuai fashion atau pendidikan bekerja dulu walau tidak bergengsi. Demi menambah pengalaman dan barangkali uang jajan. Ini malah ‘saya’ yang sudah Sarjana Manajemen kok ya kalem aja jadi manusia kamar—itu kamar sudah bosan ditongkrongi terus! Malu dong sama Bahrin, tukang tambal ban di pertigaan Kampung yang sama sekali tidak sekolah, dan anak-anak lain yang tidak berpendidikan sebejeger ‘saya’ tapi berusaha dan berkarya nyata. Anehnya para orang tua juga diam saja melihat kelakuan anaknya.