Kejadian itu di daerah penulis sedang jadi fenomena baru. Tidak sedikit para anak muda—bahkan ada yang sudah tidak muda lagi—yang berpendidikan terpandang malah terlihat seperti pecundang. Mereka-mereka terpaksa atau memilih sendiri memperparah penyakit yang diindap Ibu Pertiwi tadi, mejadi pengangguran.
Sedangkan yang tidak sekolah atau putus sekolah sibuk berkarya (kerja) dengan impian-impian yang mencengangkan. Jika dikalkulasi mereka-mereka memang dapat meraupnya. Bahrin salah satu contohnya.
Bahrin tau, apapun terjadi hidup harus terus berlanjut. Sehingga sifat bermalas-malasan ia buang jauh dari kamus hidupnya. Meski sejak kecil bercita-cita jadi Tentara, tapi nasib memotong langkah, lantas ia tak pernah putus asa bekerja sebagai petani. Ia tetap bangga.
“Lebih ingin panen segera tiba, daripada memikirkan jadi Tentara.” Jawabnya saat ditanya, apa masih ingin jadi Tentara.
Bahrin telah melupakan cita-cita masa silamnya. Ia sekarang fukos dengan kerjaannya sebagai petani/pekebun, selain penghasilan triwulannya dari Sere Wangi (Panen tiga bulan sekali) ia juga rutin menanam bawang merah dan cabe keriting. Dan ia telah menetapkan cita-cita baru: bisa naik Haji semuda mungkin.
Nah, sekarang kita dapat berasumsi lebih baik mana (berdasarkan Materi) antara Bahrin yang dapat satu Ton cabe per tahun dengan harga 30 ribu per Kg dengan seorang sarjana kerja kantoran yang diberi upah kurang dari 3 juta perbulan?
Nyatanya, terkadang PNS yang masih di seputaran Golongan III memandang ‘iri’ pada Petani yang panen cabe atau bawang merah dengan luas satu atau dua Mulsa. Apalagi yang menanam lebih dari lima Mulsa. Bayangkan?
Akhirnya tulisan ini tidak hendak (ingin) mendiskreditkan pendidikan. Pada dasarnya saya juga mengakui Negara kita perlu pendidikan yang lebih baik. Sebab saya juga khawatir dengan apa yang dikhawatirkan Almarhum KH. Zainuddin MZ terhadap negara kita “Sperti Rumah Sakit....dengan fasilitas yang mewah, namun isinya orang sakit.”Begitu kira-kira apa yang pernah saya simak dalam salah satu ceramah Beliau.
Namun, ya apa salahnya sembari menunggu lowongan kerja yang sesuai fashion atau pendidikan bekerja dulu walau tidak bergengsi. Demi menambah pengalaman dan barangkali uang jajan. Ini malah ‘saya’ yang sudah Sarjana Manajemen kok ya kalem aja jadi manusia kamar—itu kamar sudah bosan ditongkrongi terus! Malu dong sama Bahrin, tukang tambal ban di pertigaan Kampung yang sama sekali tidak sekolah, dan anak-anak lain yang tidak berpendidikan sebejeger ‘saya’ tapi berusaha dan berkarya nyata. Anehnya para orang tua juga diam saja melihat kelakuan anaknya.