Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sesekali Perlu Berkaca pada Anak yang Tidak Terdidik

2 Mei 2017   21:21 Diperbarui: 2 Mei 2017   22:30 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahrin yang sepatutnya setiap pagi pergi sekolah, malah berangkat ke kebun (Dokpri

Kejadian itu di daerah penulis sedang jadi fenomena baru. Tidak sedikit para anak muda—bahkan ada yang sudah tidak muda lagi—yang berpendidikan terpandang malah terlihat seperti pecundang. Mereka-mereka terpaksa atau memilih sendiri memperparah penyakit yang diindap Ibu Pertiwi tadi, mejadi pengangguran.

Sedangkan yang tidak sekolah atau putus sekolah sibuk berkarya (kerja) dengan impian-impian yang mencengangkan. Jika dikalkulasi mereka-mereka memang dapat meraupnya. Bahrin salah satu contohnya.

Bahrin saat panen padi di sawah keluarganya (Dokpri)
Bahrin saat panen padi di sawah keluarganya (Dokpri)
Berbekal pendidikan hanya sedekar mincicipi bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, pemuda—masih remaja, pada dasarnya—yang kini baru berusia menanjak ke 18 tahun itu tidak menjadi ‘badung’ layaknya anak bernasib serupa, putus sekolah. Sebelum ia memutuskan untuk berhenti sekolah, Orang tuanya membujuk agar dia tetap sekolah dan mengaku bertanggung jawab membiayai. Namun, karena kesulitan materi yang terus diderita keluarga, serta pemahaman keliru anak labil atas tumbukan-tumbukan dunia yang tak kenal jeda terhadapnya, ia memilih berhenti. Ada diskriminasi lingkungan penyebab ia memilih drop out dari sekolah? betul sekali.

Bahrin tau, apapun terjadi hidup harus terus berlanjut. Sehingga sifat bermalas-malasan ia buang jauh dari kamus hidupnya. Meski sejak kecil bercita-cita jadi Tentara, tapi nasib memotong langkah, lantas ia tak pernah putus asa bekerja sebagai petani. Ia tetap bangga.

“Lebih ingin panen segera tiba, daripada memikirkan jadi Tentara.” Jawabnya saat ditanya, apa masih ingin jadi Tentara.

Bahrin telah melupakan cita-cita masa silamnya. Ia sekarang fukos dengan kerjaannya sebagai petani/pekebun, selain penghasilan triwulannya dari Sere Wangi (Panen tiga bulan sekali) ia juga rutin menanam bawang merah dan cabe keriting. Dan ia telah menetapkan cita-cita baru: bisa naik Haji semuda mungkin.

Cabe dan Bawang Merah yang ditanam tumpang sari. kebun Bahrin (Dokpri)
Cabe dan Bawang Merah yang ditanam tumpang sari. kebun Bahrin (Dokpri)
Saya juga meyakinkannya, bahwa cita-citanya dapat terwujud. Hitungannya sederhana, walau Gayo Lues tidak terlalu langgeng dengan harga cabe melambung, hanya setahun sekali, dan bila harga cabe 30 ribu/Kg saja, ia hanya butuh 1 Ton hasil panennya, jika pertumpuhan cabe normal dan hama tidak terlalu mengganggu satu Mulsa Cabe dapat menghasilkan 1 Ton panen dan Ia biasanya paling kurang menanam dua Mulsa, serta lain lagi hasil dari bawang merah yang biasa ditanam tumpang sari dengan cabe. Bahrin cukup mudah kan merealisasikan cita-citanya? Ya, jika Sang Pencipta berkenan—pernyataan dari Bahrin.

Nah, sekarang kita dapat berasumsi lebih baik mana (berdasarkan Materi) antara Bahrin yang dapat satu Ton cabe per tahun dengan harga 30 ribu per Kg dengan seorang sarjana kerja kantoran yang diberi upah kurang dari 3 juta perbulan?

Nyatanya, terkadang PNS yang masih di seputaran Golongan III memandang ‘iri’ pada Petani yang panen cabe atau bawang merah dengan luas satu atau dua Mulsa. Apalagi yang menanam lebih dari lima Mulsa. Bayangkan?

Akhirnya tulisan ini tidak hendak (ingin) mendiskreditkan pendidikan. Pada dasarnya saya juga mengakui Negara kita perlu pendidikan yang lebih baik. Sebab saya juga khawatir dengan apa yang dikhawatirkan Almarhum KH. Zainuddin MZ terhadap negara kita Sperti Rumah Sakit....dengan fasilitas yang mewah, namun isinya orang sakit.”Begitu kira-kira apa yang pernah saya simak dalam salah satu ceramah Beliau.

Namun, ya apa salahnya sembari menunggu lowongan kerja yang sesuai fashion atau pendidikan bekerja dulu walau tidak bergengsi. Demi menambah pengalaman dan barangkali uang jajan. Ini malah ‘saya’ yang sudah Sarjana Manajemen kok ya kalem aja jadi manusia kamar—itu kamar sudah bosan ditongkrongi terus! Malu dong sama Bahrin, tukang tambal ban di pertigaan Kampung yang sama sekali tidak sekolah, dan anak-anak lain yang tidak berpendidikan sebejeger ‘saya’ tapi berusaha dan berkarya nyata. Anehnya para orang tua juga diam saja melihat kelakuan anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun