Benar saja dugaannya. Ia bergegas turun. Pandangannya tertuju pada sebuah Matic yang terjengkang. Mengeluarkan secarik kertas dan pulpen. Ia mencatat dua deretan angka dari motor yang karam. Ia langsung bergegas tanpa menjenguk siapa pengendara yang masih tak sadarkan diri itu. Matanya hanya sekelas memandang sebelum startingmotornya: sepertinya ibuk-ibuk yang masih terbaring itu, tapi tak jelas. Bodoh amat, pikirnya. Orang yang tau apa yang ia lakukan menggeleng-gelengkan kepala.
Ia langsung tancap gas ke utara. Lurus. Sebelum ia belok ke arah barat menuju Ibu Kota Kecamatan tetangga, Cinta Maju, ia tertarik melihat anak-anak menunggangi kerbau di hamparan sawah yang baru panen. Ia berhenti sejenak. Mungkin hendak bernostalgia pada Wanto kecil. Sejenak ia di situ. Ia memerhatikan anak tanpa baju dengan celana panjang merah. Mungkin seragam SD yang sudah tak layak dipakai ke sekolah. Celana yang dikenakan anak itu bolong pada kedua belah sisi pantat. Ia tersenyum. Ia menulis angka 00 dan 010 pada secarik kertas. Ia langsung menuju Blangpegayon.
Di pertigaan Cinta Maju ia bertemu dengan sepupunya. Sepupu yang seusianya itu mencegat.
“Dari mana? Mau kemana?”
“Biasa. Jalan-jalan sore. Hehe.”
“Oh. Sambil cuci mata ya?”
Keduanya tertawa.
“Ayo ke rumah!” Sepupunya. “Udah lama gak singgah ko.”
Ia terpaksa singgah. Tradisi silaturahmi sesama sanak saudara memang salah satu warisan leluhur yang membanggakan. Meski semakin tergerus zaman. Sebagian bukan karena enggan mempererat hubungan, tapi tegur sapanya cukup melalu udara. Namun demikian ada juga yang tidak enak hati jika mengetahui kabar saudaranya lebih baik darinya. Macam-macam.
Wanto dan sepupunya melewati satu kampung. Sebelum sampai pada kampung yang dituju, rumah sepupunya. Ia berhenti di rumah yang sudah terlalu ketinggalan modern—berbentuk panggung. Wanto masuk dan menemui seorang yang sudah sepuh terbaring, Pak Ciknya. Ia duduk dan basa-basi dengan lelaki mendekati senja itu, yang baru diketahuinya sakit lambung.
“Pak cik sudah berapa umurnya?”