Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Anak Bapak Orangnya!

15 April 2017   23:36 Diperbarui: 17 April 2017   19:26 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: http://impian-blog.blogspot.co.id/

Kawan! Apakah anda benci mate matika? Penulis punya punya cerita seorang anak yang sangat benci pelajaran itu, Godad namanya. Coba dengarkan cerita Godad yang tiba-tiba benci mate matika. Mungkin kisahnya sama degan kawan semua.

***

Jelas Godad pusing setiap kamis pagi. Pelajaran berhitung yang sejak SD ia sukai tiba-tiba berubah memuakkan baginya. Mulanya hanya saat Buk Gurunya masuk ruangan, perasaan membosankan langsung menusuk-nusuk hatinya. Semakin lama, ia telah benci bertemu kamis pagi.

Bahkan rabu malam perasaannya sudah tidak nyaman. Membayangkan esok paginya. Ah, sama sekali tidak enak. Ia merasa angka-angka yang keluar dari mulut gurunya hanya mengejeknya dan menyatakan betapa tidak pentingnya pelajaran itu. Ia pernah menelan pil tidur demi melewati kamis pagi. Tapi, perbuatan itu tidak akan ia lakukan lagi. Sebab, orang tuanya akan menghukumnya sangat berat. Salah satu yang berat tentu tanpa uang jajan. Adakah anak sekolah sekarang tidak pakai jajan? Ah, itu zaman dulu!

"Kenapa kau selalu tidak masuk, Dad?"

"Saya tidak suka mate matika."

"Kelas satu dan kelas dua, kau suka?"

"Saya mulai tidak suka sejak diajar ibu itu."

"Kenapa?"

"Mmm. Gak taulah," Katanya berhenti sejenak. "Ibuk itu terlalu tidak bisa mengajar. Kalau bertanya tidak dijawab. Bukan jurusannya. Keliatan sekali ia titipan."

"Maksudnya?"

"Ah, lama-lama kau memuakkan juga." Ia kecewa ketidaktahuan Indra. "Ia titipan dari pejabat yang berpengaruh. Bisa tidaknya ngajar, tetap dapat bagian ngajar." Godad tau mungkin karena bapaknya pejabat.

Indra mengerutkan dahi. "Nepotisme maksudnya?"

"Ah, sudahlah."

Di kejauhan Anwar melambaikan tangan. Seketika Godad tersenyum. Layaknya disetrum. Dari loyo jadi segar bugar.

"Dad, jangan berlebihan dengan Anwar." Indra menasehati.

"Tau apa kau. Itu kamis pagi menyenangkan. Bukan di kelas." Godad langsung menuju Anwar yang melambaikan tangan dari pojok Kantin.

***

"Pusing aku. Ada gak?"

"Tenang. Hari Kamis selalu ada sisa buat Ko." Anak baru itu memastikan bagiannya.

Anwar memang anak baru di sekolahnya. Kabarnya saat kelas dua ia di sekolah favorit. Karena ada masalah serius ia dikeluarkan.dan ia bisa langsung kelas tiga sekolah itu.

Tapi Godad tidak baru kenal dengannya. Keduanya berteman karena Bapak mereka berteman. Bapaknya Godad pernah terjerat kasus. Saat itu Bapaknya Anwar membantu keluar. Bayarannya tidak terlalu berarti. Dari situ bapaknya Godad dan Anwar sering dolanan ke rumah masing-masing. Tak jarang Godad maupun Anwar dibawa serta saat saling solaturahmi. Lama kelamaan Godad dan Anwar jadi teman dekat juga. Tanpa Bapak masing-masing mereka sering ketemuan.

"Papir dan sebungkus rokok, kakak cantik." Anwar meminta pada empu kantin. Kantin Janda anak satu, berusia sekitar 30-an itu memang menjadi kantin primadona siswa semacam Anwar.

"Nih, Ganteng." Menyodorkan barang permintaan Anwar dengan suara menggoda. "Kalau dirazia Guru, jangan bilang dari sini. Ingat itu." Sambungnya seraya mencolek pipi Anwar.

"Biasa kak. Dari dulu begitu." Sambil memberi uang bayaran barang yang sudah digenggamnya.

Godad dan Anwar serta tiga orang lainnya pergi. Mereka menuju belakang kelas 3-IPA. Tak lama mereka menuruni bukit. Seragam putih abu-abu itu telah tertelan rerimbunan rumput. Ya, kebun kopi warga di bagian timur sekolah tempat pesta anak-anak badung. Mereka menuju ke situ dan hendak fly.

Sudah ada pendahulu mereka pagi itu. Ada beberapa anak. Lumayan banyak lah karena mereka anak sekolah. Yang seharusnya berada diruangan. Sudah ada yang menyerupai ayam flu burung. Mereka sudah tak sabar.

Anwar merogoh saku kiri celananya. Ia mengeluarkan rokok dan kertas papir. Dari saku celana sebelahnya ia mengeluarkan kotak pensil. Hah, mereka mau belajar di bawah kopi? Tidak.

Isi dari kotak pensil yang sudah terbuka itu adalah kamis pagi yang menyenangkan bagi Godad. Cimeng* kawan, fly, fly. Mata Godad membelalak seolah tak sabar membunuh angka-angka yang menghantuinya di kamis pagi.

"Ko gak ahli juga War. Lama." Desaknya. Kedua anak lainnya juga belum selesai menggulung papir yang berisi daun kering itu.

"Sabar. Ekor tupai* ni. Rugi kalau jatuh. Mahal."

Godad tetap tak sabar. Padahal ia tak bisa menggulung. Kalau bukan dia, Anwar jelas tidak mau, ia berposisi sebagai bos dalam dunia hitam itu. Ia baru beberapa bulan memang menjadi konsumer barang haram dalam kotak pensil. Ia pertama kali mau ditawari tepat di kamis pagi setelah ia benci mate matika.

"Ni," Anwar memberi gulungan yang dinanti Godad. "Nyantai aja. Biusnya kuat."

Anwar menggulung untuknya. Kedua lainnya sudah menyulut. Godad pun langsung menyulut. Menghisap dalam. Bus. Asap dihembuskan dari tiga anak yang menemani Anwar. Membumbung ke udara. Kemudian lenyap ditiup angin kamis pagi. Seketika kamis pagi yang suram bagi Godad ikut terbawa asap yang ditiup angin. Ke empat anak sekolah di kebun kopi itu telah berlagak seperti Ayam kena flu burung. Matanya merah dan kelihatan menahan kantuk. Tapi hati tenang kayak melayang terbang ke tempat-tempat impian. Kamis pagi menjadi indah bagi Godad.

Dari kebun kopi mereka tak lagi ke sekolah. Mereka benar-benar berpesta. Entah berapa pukul** ekor tupai masing-masing mereka habiskan. Godad yang masih kayak Ayam flu burung tidak dibiarkan Anwar pulang ke rumahnya. Akhirnya Godad diboyong ke rumah Anwar.

***

Godad terbangun dari tidurnya. Ia baru sadar dan baru tau kalau ia di kamar Anwar. Jam weker di kamar itu menunjukkan angka enam. Hari sudah mulai gelap. Anwar masuk kamar. Baru beli rokok, katanya.

Godad hendak pulang. Tapi, ia masih telanjang dada.

Rupanya, sesampainya di kamar Anwar ia langsung buka baju dan membuang sekenanya. Setelahnya berbaring dan pulas diatas kasur. Anwar menyantolkan bajunya di gantungan. Bersama bajunya. Godad meraih seragam putih itu. Matanya terpaku pada kotak pensil yang menyembul separuh dari saku seragam Anwar. Sambil memakai baju ia terus menatap.

"Bawa aja. Masih ada dua pukul." Anwar tau maksud Godad.

Tepat di halaman rumah, Godad bertemu dengan bapaknya Anwar.

"Eh, pak baru pulang?"

"Iya. Kemana? Pulang?"

"Iya pak. Udah mau malam ni."

"Jangan-jangan mau malam jum'atan sama Mukminah ni."

"Gak pak. Masih PDKT juga kok pak. Hehe."

"PDKT terus?!" Bapaknya Anwar secara kebetulan bertemu Godad dan Mukminah di Kafe. Bapaknya Anwar bertanya apa mereka pacaran. Godad membisikkan masih PDKT. Mukminah, biasa, tersipu malu.

"Pamit dulu, pak."

"Ya. Ya. Hati-hati."

Sesampainya di rumah Godad langsung kena semprot oleh orang tuanya. Nasibnya sial. Wali kelasnya menghubingi Emaknya. Menanyakan kenapa Godad tidak masuk sekolah. Emaknya heran ketika itu. Padahal dari rumah berangkat. Hp Godad yang dari pagi mati langsung disita. Lain lagi satu bulan tanpa uang jajan dan ada pantauan di sekolah sebagai hukuman. Godad mati-matian menawar. Tetap tiada ampun baginya. Setelah ganti baju dan celana, Ia langsung pergi keluar rumah.

Ya, jembatan yang ratusan meter dari rumahnya selalu menjadi tempat pelipur lara saat hatinya dihujam gundah. Lampu-lampu indah dan riak air sungai tak mampu mengusir krasak krusuk dalam kepalanya.

"Ah, bodoh." gumamnya.

Ia mengeluarkan kotak pensil. Membuka. Menghaluskan dengan jarinya. Kemudian menabur barang berwarna hijau kering itu ke kertas papir. Tanpa tembakau. Menggulung. Menjilat. Merekatkan. Menyulut. Bus. Baru tiga kali isapan ia telah dicuduk orang tak ia kenal. Ia tak kuasa melawan karena orang yang menyergap tinggi kekar.

***

"Cari yang memberi barang padanya. Aku akan beri perhitungan pada bangsat itu."

"Sebentar lagi akan kami introgasi."

"Kalau sudah dapat jangan langsung ditangkap. Aku saja yang mencarinya."

"Tit." Hp dimatikan,

Jum'at pagi dari kepolisian Bapaknya Godad telah diberitahu lewat telepon: Godad ditangkap polisi karena menghisap Ganja.

Di ruang introgasi Godad tertunduk. Lesu. Karang hatinya seolah remuk. Dua polisi datang menghadapnya. Ia semakin ketakutan. Karena salah satunya tak asing. Ia bungkam. padahal ingin belas kasih dari yang ia kenal. Pikirnya ia akan dibantu.

"Siapa Bandarnya?" Tanya petugas yang ia kenal. Sambil menggerakkan kumis hitam tebalnya.

Ia diam.

"Gubrak!" Godad kaget. Petugas satunya menggebrak meja.

Ia masih kalem saja.

"Kalau kau beritahu bandarnya, kau bebas."

Ia tetap bergeming. Ia tak mau menyeret temannya. Anwar tak perlu dibawa-bawa atas keteledorannya.

"Kalau kau tak ngomong, kupanggil orang tuamu." Gertak petugas satunya.

Ia masih diam. Orang tuanya pasti membela, pikirnya.

Segala jurusan telah dikerahkan kedua petugas itu. Ia belum buka suara. Gertakan demi gertakan yang menyakiti fisik berhamburan menakutinya. Ia masih menjahit mulutnya. Tiba-tiba petugas yang ia kenal menyunggingkan senyum.

"Apa mau kupanggil Mukminah?" Godad kaget mendengar Mukminah disebut-sebut.

"Jangan Pak." Pintanya.

"Kasih tau bandarnya atau kutelepon sekarang."

Godad menimbang. PDKT dengan Mukminah tak boleh terganggu. Jika ia tau mendekam di sini karena Narkoba, putus sudah harapannya. Bahaya, pikirnya.

"Ayo, katakan." Petugas yang ia kenal seolah mencari-cari kontak di Hp nya.

"Sekali lagi. Siapa bandarnya?"

"Anak Bapak orangnya!" Ia menjawab kencang. Ia tak mau kehilangan Mukminah, meski ia belum diterima. Anwar pasti dibela bapaknya, logikanya.

"Hah. Jangan becanda kamu!"

"Ya, anak bapak. Anwar."

Petugas yang ia kenal, tertulis di dadanya "Khairul", bapaknya Anwar, sangat terkejut mendengar penjelasan panjang lebar Godad.

***

Apakah Anwar akan diintrogasi? Oh, kawan! Penulis tak tau pasti. Karena prosesnya di belakang layar.

* Nama lain dari ganja. Yang sering disebut pemakainya.

** gulungan ganja siap hisap.

Gayo Lues, 2017

NB: Untuk teman-teman penulis yang telah gila karena Narkoba. Kabarnya ada beberapa.

Cerpen lainnya: Buku Pemberianmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun