Aku dan kau sudah lama dekat. Semua teman kita tau, ada sesuatu di antara kita. Meski kau malu-malu mengakui. Mereka yakin tidak keliru menilai.
Kendati kita saling merasa nyaman. Aku ingin memastikan. Entah berapa kali aku meminta. Namun kau masih menunda. Tidak lama lagi kita wisuda. Ini saat yang tepat, pikirku.
"Maukah kau menikah denganku?"
Kau menunduk tanpa menjawab. Awalnya kukira malu-malu. Tapi raut mukamu tidak biasa. Aku jadi ragu dengan hasil hitungan matematis yang telah kugenggam.
Di sepasang bulan yang kukagumi awan hitam menggantung. Tampak jenuh menunggu menjadikan diri hujan. Kau mengisyaratkan sulit menjawab. Aku tak ingin kau menderita. Sebenarnya aku bisa saja mengalihkan arah bicara. Aku urungkan karena ingin kepastian.
Lama aku menunggu. Tiba-tiba kau menatap. Kini aku tau otakmu masih menunda keras suara dari mulutmu. Aku menghargai penundaanmu. Walau terpaksa kesekian kali gigit jari.
"Aku akan jawab besok."
Singkat saja bibirmu bergerak. Suara yang keluar terdengar berat. Keindahan suara itu agak terganggu. Meski tetap tak tertandingi bagiku.
"Itu lebih baik. Karena semakin cepat, kita akan semakin cepat tenang. Apa pun nantinya!"
Aku juga berkata biasa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seutas kawat duri telah mencekik Jantungku. Sesak. Sakit. Aku merasa nol persen peluang memilikimu.
Sepertinya aku salah kata. Harusnya aku berkata lebih berharap. Tambah romantis. Bukankah perempuan suka yang lembut dan mampu menggelitik hatinya?
Tapi tidak juga. Aku tidak salah kata. "Saat penting kadang perempuan tidak ingin melihat kamu cengeng. Karena perempuan merasa diri lemah. Ia ingin mendapat sandaran perkasa. Tapi jangan terlalu--berlebihan."Bagitu pamanku mengajari. Aku percaya, sebab ia beristri empat dan pacar segudang—dulu.
Aku masih betah berlama-lama di bawah pohon kita berteduh. Kita memang sering ke sini. Pohon rindang ini sering kau harapkan menjadi ciri hubungan kita hingga kelak. Kokoh umpama batang dan cabangnya. Lurus umpama ranting-rantingnya. Menyejukkan kehidupan umpama daun lebatnya.
Kau minta diantar pulang. Perasaan tidak tenang tergurat di wajahmu. Kau ingin bersegera dengan gundah. Aku merasa diriku membuat kau tidak nyaman. Jika itu benar, aku sangat kecewa pada diriku sendiri.
Dalam perjalanan pulang kau tampak murung. Tidak seperti biasa. Tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutmu. Padahal kau tidak begitu—aku selalu kalah suara. Selain telinggaku menganggap suara yang kau lontar sekenanya berbunyi terindah, juga kau lebih ekstrovet, semua teman kita memvonis begitu.
"Terima kasih telah mengantar."
Ah, kini katamu ketus. Sebelum aku menjawab kau telah berpaling muka. Kau memunggungiku berlalu. Aku terpaku memandang penuh tanya.
Sebenarnya tindakan itu sangat ditolak batinku. Aku belum beranjak. Berharap kau balik memandang. Lalu kembali ke hadapanku. Kita bercakap-cakap sebentar. Tak apa berganti topik. Kau terus melaju. Dua Perempuan yang sedang membaca di beranda tak kau sapa. Keduanya menoleh curiga. Kau lenyap ditelan pintu kontrakan.
Pasti kesalahan besar terjadi, pikirku. Akulah biangnya. Bukan kamu. Kalau tidak ada larangan keras di gerbang rumah yang kau huni, aku telah meluncur secepat kilat menyusulmu. Keras sekali larangan itu bagiku: “yang tidak berhijab dilarang masuk--cowok!” Aku menghubungi lewat hp. Tapi tak aktip. Aku mengutuk diri dan kemudian pergi. Kini peluangku benar-benar nol persen.
***
Sudah lewat tengah malam aku belum bisa tidur. Kalkulasi matematis yang selama ini memenuhi logika seketika sirna. Mataku lelah membuka diri pada malam. Namun kenihilan dukungan hati terpaksa masih terbuka. Perih.
Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata bapak. Bapak melarangku merantau—kuliah.
“Lebih baik langsung menikah seusai SMA.” Kata bapak.
Aku memang anak semata wayang. Bapak orang paling kaya di kampung. Sawah dan kebun luas. Serta kerbau dan sapi memenuhi dua gunung kembalaan. Aku selalu dimanja.
"Apa yang kau cari? Semua sudah tersedia."
Ibuku juga mengiakan. Tapi aku terus menolak. Lajang-lajang kampung juga menyayangkan pendirianku. Bagi mereka lelaki bodoh saja menolak kawin dengan putri tunggal juragan kampung sebelah. Seantero kecamatan memang kecantikannya telah menjadi buah bibir. Perjaka yang tau suka berkhayal mempersunting perempuan seusiaku itu. Bapak adalah teman dekat si juragan. Ia menawar aku jadi mantunya.
Aku terus mengelak pada orang tuaku. Alasan hanya untuk menuntut ilmu sangat tidak diterima. Orang-orang sarjana menjadi pekerja bapak dan selebihnya pengangguran jadi penyebabnya.
"Sepulang dari rantau aku bisa bawa mantu untuk bapak."
Aku berusaha mencari alasan.
"Apa katamu?"
Ibu kaget bertanya. Bapak juga kaget mendengar. Alasan itu ditolak ibu. Tapi aku melihat secercah harapan di benak bapak.
"Apa bapak mengizinkan?" Tanya ibu.
Bapak mengambil kopi dari atas meja. Kemudian meneguk cepat. Sebelum bapak berkata, beliau mengisap dalam sebatang keretek yang sedari tadi terselip di antara jari telunjuk dan tengah kirinya. Dalam.
"Berapa tahun katamu?"
Asap yang belum dihembuskan keluar berhamburan dari mulut bapak. Aku merasa lega. Ibu melayangkan protes. Bapak sebagai orang yang dirohmati berkata lain. Kewibawaan tetap harus dijaga. Orang-orang kampung tak ada punya mantu dari jauh. Bagi bapak itu akan menambah tinggi derajat kedudukan. Itu tak apa, pikirku. Aku bertambah lega. Ibu yang ngotot ingin punya cucu segera, akhirnya nurut.
Meski kabarnya anak juragan kampung sebelah belum kawin. Itu tak bisa menggantikanmu. Jelas tidak. Juga bukan semata-mata hanya memenuhi janji pada orang tuaku. Jika hanya sekedar itu, ada beribu kembang yang bisa kupetik.
Mataku semakin perih. Hatiku masih enggan tidur. Seburat cahaya menyebul dari pentilasi jendela. Perasaanku masih tak menentu. Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Suara itu sangat menjijikan yang telinggaku pernah tangkap. Terus saja suara itu membuat kebisingan. Sinar mentari kian menyingsing. Aku bergeming. Suara ketukan tak henti. Malah semakin keras. Anak-anak kontrakan memang sangat usil. Aku bangkit dari kasur yang sudah empat tahun kutindih.
"Crak!"
"Apa lo, ganggu aja." Serangku. Mengacungkan tinju ke muka pengetuk pintu. Tepat sekali. Teman kontrakan.
"Woy! Woy! Woy! Sabar! Sabar! Sabar bos!" Dengan gaya hendak menghalangi tinjuku ia menenangkan.
"Ini ada paket dari ibu kontraan bos. Katanya buat lo."
"Hah?" Aku menurunkan tinju.
"Tenang bos."
"Biasa ngeganggu sih."
Teman kontrakan yang membawa paket pergi. Katanya sarapan ke Warung Sunda. Aku melihat nanar paket yang kugenggam. Ada namamu tertulis. Takjub sekaligus gundah. Sebuah surat terlipat di bungkus paket. Surat itu singkat saja.
Saya tidak bisa menerima lamaranmu sebelum kau bisa. Orang tuaku takkan setuju. Aku juga ragu.
Masih dalam penasaran aku buka paket itu dengan hati-hati. “Kretxxzz”.
Rupanya sebuah buku. Di covernya tercetak judul: "TUTUNAN SALAT LENGKAP"
"Apa?"
Dimanjakan orang tua memang tidak apa bagiku walau tidak bisa Salat. Hingga kini.
Gayo Lues, 2017
Cerpen lainnya: Komar Oh Komar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H