Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Pemberianmu

11 April 2017   21:53 Diperbarui: 13 April 2017   05:30 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi tidak juga. Aku tidak salah kata. "Saat penting kadang perempuan tidak ingin melihat kamu cengeng. Karena perempuan merasa diri lemah. Ia ingin mendapat sandaran perkasa. Tapi jangan terlalu--berlebihan."Bagitu pamanku mengajari. Aku percaya, sebab ia beristri empat dan pacar segudang—dulu.

Aku masih betah berlama-lama di bawah pohon kita berteduh. Kita memang sering ke sini. Pohon rindang ini sering kau harapkan menjadi ciri hubungan kita hingga kelak. Kokoh umpama batang dan cabangnya. Lurus umpama ranting-rantingnya. Menyejukkan kehidupan umpama daun lebatnya.

Kau minta diantar pulang. Perasaan tidak tenang tergurat di wajahmu. Kau ingin bersegera dengan gundah. Aku merasa diriku membuat kau tidak nyaman. Jika itu benar, aku sangat kecewa pada diriku sendiri.

Dalam perjalanan pulang kau tampak murung. Tidak seperti biasa. Tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutmu. Padahal kau tidak begitu—aku selalu kalah suara. Selain telinggaku menganggap suara yang kau lontar sekenanya berbunyi terindah, juga kau lebih ekstrovet, semua teman kita memvonis begitu.

"Terima kasih telah mengantar."

Ah, kini katamu ketus. Sebelum aku menjawab kau telah berpaling muka. Kau memunggungiku berlalu. Aku terpaku memandang penuh tanya.

Sebenarnya tindakan itu sangat ditolak batinku. Aku belum beranjak. Berharap kau balik memandang. Lalu kembali ke hadapanku. Kita bercakap-cakap sebentar. Tak apa berganti topik. Kau terus melaju. Dua Perempuan yang sedang membaca di beranda tak kau sapa. Keduanya menoleh curiga. Kau lenyap ditelan pintu kontrakan.

Pasti kesalahan besar terjadi, pikirku. Akulah biangnya. Bukan kamu. Kalau tidak ada larangan keras di gerbang rumah yang kau huni, aku telah meluncur secepat kilat menyusulmu. Keras sekali larangan itu bagiku: “yang tidak berhijab dilarang masuk--cowok!” Aku menghubungi lewat hp. Tapi tak aktip. Aku mengutuk diri dan kemudian pergi. Kini peluangku benar-benar nol persen.

***

Sudah lewat tengah malam aku belum bisa tidur. Kalkulasi matematis yang selama ini memenuhi logika seketika sirna. Mataku lelah membuka diri pada malam. Namun kenihilan dukungan hati terpaksa masih terbuka. Perih.

Tiba-tiba terngiang di kepalaku kata-kata bapak. Bapak melarangku merantau—kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun