"Terus, kita bisa apa?"
"Bajak aku secepatnya."
Dia berkata mantap. Seolah, walau rintangan sebesar gunung yang kami pandang ia kuasa menendang.
"Jika kamu mau, aku mau saja. Tapi sudahkah kau siap tanpa nilai mahar berarti? Dan nantinya, maukah kau menahan kegetiran hidup yang hanya mampu kuhidupi semampuku?"
Aku yakin pertanyaanku akan ia makan bulat-bulat. Itu terlihat dari mata indahnya yang menyimpan kepasrahan. Ia terdiam dan memandang hampa ke arah yang jauh.
"Menahan kesulitan hidup tidak perlu dipersoalkan," Ia berkata tenang. "Tapi," Tiba-tiba tertahan. "Aku belum siap ah!" Nadanya berubah meninggi. Genit bercampur manja dan jelas begitu menggoda.
Aku lega mendengarnya dengan perasaan dibayangi kata-kata pecundang. Setidaknya, ya, aku masih sebagai pecundang. Karena tidak bisa mengabulkan keinginannya—kenyataannya aku pun ingin demikian. Begitu penilaianku.
"Itu memang lebih baik."
"Aku hanya tidak mau abang membawa mutiara tanpa ada setetes pun keringat tumpah.” Katanya. “Lagian aku bisa sebesar ini penuh dengan usaha yang berlelehan keringat. Juga keringat itu akan menjadi modal kepercayaanku akan tanggung jawab abang nantinya."
"Jadi, selama ini kau tak percaya? Huh. Menyebalkan." Kataku mencoba mencairkan suasana.
"Hihihi. Mukanya biasa aja tu."