Belasan anak dewasa turut bersaing. Wanita aduhai itu menentukan kriteria suami idaman. Karena syarat cukup rumit, maka tenggelam beberapa kontestan. Hanya tinggal dua saja dengan kesenjangan tak ubahnya langit dan bumi atawa musim hujan dan kemarau.
Satu berbadan tegap, ganteng dan dicap perkasa oleh sebagian warga desa; yang kedua berbadan kurus, kerempeng dan dicap jauh dari kata menawan. Keduanya memiliki keterampilan berbeda. Dukungan warga desa terbelah menjadi dua.
Benar saja, meski tanpa bacok-bacokan pertarungan sengit luar biasa terjadi. Opini-opini berbau amis konspirasi bergentayangan di udara. Masing-masing saling tuding pihak lawan berusaha membunuh dengan pedang terlarang.
Sehari sebelum Ina menentukan pilihan, kedua calon mengumumkan diri jadi pengantin. Orang-orang dibuat pusing tujuh keliling atas berita itu. Kontes tinggal menunggu pemenang, tapi lagi-lagi saling menuding pihak lawan berkhayal.
***
Ina bersiap memberi pengumuman. Orang-orang menunggu penasaran. Ina memegang gagang Toa. Orang-orang memasang telingga. Dag dig dug? Tentu saja.
“Suami pilihan saya adalah Fulan.”
Singkat saja pengumuman Ina.
Kor teriakan suka cita membahana. Menelusiri gang-gang desa. Mengibas-ngibas pepohonan. Berdansa dengan udara. Membelai awan. Menembus angkasa hingga mencapai langit. Kabar gembira pun barangkali tersiar hingga ke Surga.
Kor histeris duka cita pecah. Menggores gang-gang desa. Mematahkan pepohonan. Memutar-mutar udara. Menampar awan. Membelah angkasa hingga mencakar langit. Kabar pilu pun barangkali terdengar hingga ke Neraka.
Bagi yang pro calon beruntung pesta pora sudah waktunya, dan bagi yang sebaliknya sengsara akan buas memangsa—menurut meraka atau memang adanya demikian, tidak tau pasti.