Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Belajar Membatik

18 Maret 2017   19:53 Diperbarui: 20 Maret 2017   00:00 2097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://berbah.com/batik-tulis-sidji-batik/

Ia datang ke kota yang tek parnah tidur itu bukan hanya sebagai pelampiasan yang selama ini hidupnya dibalut hening. Atau sebagai pelesiran biasa atas kota-kota penuh dengan gemerlap wisata, jelas bukan.

Ia datang dari pedalaman membawa seberkas perasaan sekarat akan keindahan. Dan berharap kota itu menelurkan sebuah karya agung. Agar dapat membekukan kekosongan seni yang sudah terpatri sejak dulu.

Semenjak turun dari kereta ekonomi ia terpana akan lalu-lalang manusia yang penuh gairah di stasiun itu. Semangat hidup yang membumi dari penduduk membuatnya yakin bahwa ia memang tidak salah tujuan. Ia mencium aroma mimpinya semakin dekat—bercengkrama dengan keindahan baru, karena yang lama telah berhianat.

Ia singgah sebentar di pasar kenamaan kota itu. Ia berharap mendapat sedikit suntikan adrenalin dari pergolakan pasar yang tumpah ruah. Manusia-manusia berupa warna membawanya terbang ke angkasa. Tak ayal pendiriannya pun semakin teguh.

Dari kejauhan seorang perempuan yang ia kenal mendekat. Dengan senyum ramah merekah perempuan itu menyapa. Mereka sudah janjian sebelumnya. Dan perempuan yang beraura periang itu adalah satu-satunya yang ia kenal di kota itu. Serta ia berharap bantuan darinya untuk menuntun pada jalan impiannya. Perempuan itu berjanji membantu. Perempuan itu adalah teman dekat ibunya, ia memanggil Bibi.

Tidak lama mereka jalan-jalan. Hari memang telah melukis senja. Padahal ia masih ingin mencari kepingan-kepingan inspirasi dari kemegahan kota.

“Kamu kan tidak berencana hari ini saja disini?”

Ia hanya membalas dengan senyuman.

“Masih ada esok Mira.”

“Hihihi.” Dan ia pun mengangguk.

Mereka sampai ke kosan tidak terlalu malam.

Hari-hari pertamanya ia jalani tidak terlalu berat dan membosankan. Penghuni rumah bersekat-sekat yang ia diami itu menyambut ceria. Tak salah rumah itu bernama Kosan Ceria.

Selain itu Bibinya dan sesuai janji akan menjadi makelar tidak ingkar. Ia pun mendapat apa yang dia inginkan. Ia merasa nyaman di rumah batik yang digawangi Bibinya. Karena menurutnya membatik akan dihadapkan dengan seni, dan tentu didalamnya akan tersimpan keindahan yang sesuai impiannya—bercengkrama dengan keindahan baru. Ia mendapati jalan menuju itu.

Dengan modal pelajaran membatik seadanya ia memulai merajut impian. Kain tenun berwarna putih ia pandang dan mencoba menerawang keindahan yang akan tercipta. Lama ia memegang kain katun lembut itu. Tiba-tiba ia hempaskan sekenanya. Bibinya yang menjadi mentor melihat kelakuannya penuh heran.

“Kenapa Mira?” Bibinya bertanya.

Ia diam saja dan kembali memungut kain tak bersalah yang ia lempar.

Kembali ia terpaku menerawang kain halus itu. Sedangkan malam batik telah bergolak dalam Wajan. Seolah memberi isayarat agar ia menyelupkan Canting ke dalamnya, kemudian melukiskannya diatas kain putih yang ia pegang. Tapi ia malah terdiam.

Sambil mengekecilkan api Kompor, Bibinya mendekat dan membantu menuntun agar menemukan keindahan yang akan dipola. Ia berusaha menggantikan kelembutan dalam seberkas sekarat yang ia bawa dengan kelembutan kain itu. Dengan usaha berat ia mendapat sedikit kelembutan dari kain tanpa kanji itu. Ia mulai tersenyum dan menggoreskan malam batik diatas kain yang diharap menjadi indah itu.

Ia terlihat menikmati. Meski ia pembatik yang baru dalam tahap belajar, ia memegang Canting layaknya seorang profesional. Tidak kaku. Dan goresan-goresan malam batik itu luar biasa. Garis lengkung dan cekung begitu memukau. Bentuk-bentuk simetris mulai terbentuk. Bibinya tersenyum dan meninggalkannya sedang khidmat.

Tak lama ia meletakkan Canting ke dalam Wajan yang duduk bersahaja diatas Kompor. Api Kompor dipadamkan. Ia menatap takjub pola batikannya. Keindahan memang tertera di kain itu walau belum diberi warna. Dari kejauhan mentornya memandang, melihat didikannya tersenyum ia pun ikut tersenyum.

Tiba-tiba raut muka Mira berubah drastis. Arus mukanya seketika merubah diri dari optimis jadi pesimis. Ia bangkit seperti kaget. Menembakkan mata kejam pada batikannya. Dingklik yang ia duduki pun ketakutan. Kain Mori yang telah dibatik ditarik kasar dari Gawangan. Dengan perasaan tanpa kasihan ia menyiramkan malam yang masih cair pada batikannya. Semburan malam itu menghanguskan gambar-gambar keindahan dari batikan.

Rupanya keindahan garis dan bentuk-bentuk gambar yang ia batik, belum mampu menyaingi keindahan garis dan bentuk-bentuk yang ia bawa dalam seberkas perasaan sekarat akan keindahan. Kadar keindahan batikannya terpukul telak. Ia tak bisa mengelak.

Kembali Bibinya membimbing. Dengan perasaan dipecundangi keindahan ia berusaha memulai batikan lagi. Ia terbata-bata mengundang keindahan lain. Seketika buntu. Bibinya membantu. Ia mulai menggoreskan Canting. Tiba-tiba terhenti. Bibinya tidak pergi dan terus mengajari.

Lama kelamaan batikan pun jadi. Bibinya membantu menjelaskan keindahan dari garis-garis dan bentuk-bentuk yang tertera dari kain batikan. Ia mengangguk seolah mendapat gambar keindahan, tapi kelihatan dipaksakan.

“Semua keindahan akan kamu dapatkan dari batik,” Bibinya menjelaskan. “Apalagi setelah diberi warna, kamu akan mendapat lebih.”

Mereka mulai melakukan pencelupan batikan. Pencelupan itu tanpa direbus karena pewarna yang digunakan Reaktif Dingin. Tak lama kemudian diangkat. Terlihat warna cerah terfiksassi sempurna pada kain. Malam batik pun akan dilorotkan. Diatas tungku terdapat Wajan besar dengan air mendidih. Batikan dicemplungkan ke dalamnya.

Kain batik yang indah menawan itu tertiup angin di jemuran. Ia dan Bibinya memandangi dari kejauhan, teras rumah. Ia masih saja menatap nanar. Bibinya melihat itu.

“Lihatlah. Adakah keindahan serupa? Apalagi menandinginya. Aku heran jika ada.”

Bibinya mencoba mengundang keindahan kain Batik yang memang indah itu didalam benak Mira. Ia masih tidak merespon.

“Kamu tidak melihatnya Mira?”

“Berhentilah, Bi. Keindahan itu tak bisa diganti, meski semua batik yang ada dikumpulkan menandinginya.” Air matanya merembes ke pipi yang terluka itu.

Bibinya menariknya ke pelukannya.

“Tak ada yang tak tergantikan di dunia ini Mira. Bersabarlah.”

Usaha yang diharapkan mampu menimpali penghiatan seni terhadapnya sirna. Seberkas perasaan sekarat akan keindahan yang ia bawa tidak terpulihkan. Setidaknya belum, begitu kata Bibinya.

===► Cerpen sebelumnya: Warisanmu: Sungai Kering, Pohon Ringkih dan Hampa Nyanyian Alam

Gayo Lues, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun