Kakek bercerita tentang kesusahannya mencari nafkah zaman dulu, berjalan kaki berhari-hari memundak Tembakau ke Banda Aceh, berbeda dengan sekarang uang begitu mudah didapat, tapi ada saja alasannya untuk lenyap, tak ada nilainya.
Tentang banyaknya Rusa yang berkeliaran di Kebun-kebun warga. Tentang nyanyian burung yang merdu. Tentang hamparan sawah yang luas. Wien terkesima mendengar cerita. Rasa rindu semakin menggebu.
"Oh ya, Kek. Kata guruku alasan sungai mengering karena hutan ditebangi secara liar, dan binatang punah, termasuk burung karena pemburuan yang berkelanjutan tanpa ampun."
"Heh?"
"Kenapa kek?"
"Gak salah itu gurumu? Itu si Firun kepala sekolahmu gadaikan SKnya ke Bang untuk modal menebang hutun di hulu sungai ini."
"Ah, Kakek jangan bohong. Dosa."
"Heh? Bohong katamu. Aku pernah kesana. Dia kudapati disana. Aku tanya kenapa tebang hutan seluas itu. Dia jawab ‘untuk tabungan masa pensiunan nanti’. Padahal umurnya juga belum tentu sampai besok. Kau jangan buta."
"Maksud Kakek?"
"Ia. Semua pegawai-pegawai besar melarang. Padahal sebagian danai anggota untuk menebang hutan. Alasannya sama dengan kepala sekolahmu. Termasuk Camat yang sudah dua kali naik haji itu. Pak Kades pun begitu."
"Kok bisa Kek? Kan ada Polhut?" Wien bingung.