Pintanya pada burung-burung.
“Kami selalu berdo’a untukmu. Lihatlah, gadis muda! Malam sebentar lagi tiba. Pulanglah. Besok kami akan menemani lagi.”
“Tidak. Aku akan pulang bersama awan.”
Burung-burung menatap nanar. Selain menganggap aneh juga mengakui pendiriannya. Dan burung pun terpaksa pamit. Meninggalkan gadis muda berlinang air mata. Ia kini sendiri tengah padang. Hatinya sedikit gusar. Ilalang berhenti bergoyang. Angin pun tak lagi mencumbuinya.
Ia termenung menatap Mega dengan hati disusupi sepi. Hening. Ia tau keindahan senja akan meninggalkannya sebatang kara ditengah penantiannya yang tidak jelas. Namun Ia yakin awan akan datang menggandeng tangannya, menuntun pada keteduhan, menyejukkan suasana hati pada cuaca yang panas. Ia sangat yakin, bahkan waktu hanya tersisa sedetik sebelum jatuhnya malam. Ia menunduk berharap. Masih belum ada awan menuntunnya dari tengah padang.
Dan malam pun tiba. Memancung tanpa ampun harapannya. Ia terpaku. Menangis sesegukan.
Tak lama Ia menangis. Ia yakin masih ada esok untuknya, dan mungkin disitu akan datang awan yang rupawan untuknya. Ia putuskan pulang. Ia baru menyadari, seharusnya mendengarkan pesan seekor burung tadi. Ia memandangi sekelilingnya. Gelap. Tak jelas arah mana yang akan dituju. Tak ada bintang. Juga rembulan.
Ia mencoba meraba jalan pulang. Tersesat. Langkahnya gontai. Terbelit rerimbunan Ilalang. Tersungkur. Tenaganya terkuras karena Ia lupa mengisi tenaga. Lemah. Tak berdaya. Ia terjatuh. Tiba-tiba lehernya tercekik. Nafasnya tersengal-sengal. Ia berusaha membuka mata yang mulai terpejam. Tidak bisa.
Ia merasa tangannya digenggam. Hangat. Dibawa terbang ke langit. Dicumbui mesra oleh awan. Ia pun meleleh bahagia.
Gayo Lues, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H