Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Padang Ilalang dan Gadis Muda Menunggu Awan

10 Maret 2017   16:30 Diperbarui: 11 Maret 2017   04:01 2115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia berlari ke tengah padang Ilalang. Menunggu awan bertandang. Inginnya cukup sederhana. Sebuah gumpalan awan memberinya teduh ditengah terik yang tak kenal lelah memangsa, dan kalau bisa memberinya hujan.

Lama Ia menunggu. Ditemani riak gembira daun Ilalang yang dicumbu mesra angin berlalu. Himpitan tubuh Ilalang yang bergoyang-goyang seolah mengajaknya ikut menari. Selendang hijau muda pemberian Almarhumah Ibunya dikibaskan pada Ilalang. Ilalang tergelitik dan semakin dahsyat bergoyang.

Selain Ilalang menghiburnya, siang itu angin turut juga mengelap keringat yang terus berkucuran. Angin tanpa henti memompa semangat Ilalang bergoyang. Juga mengelus bulu-bulu lentik gadis muda yang berparas cantik itu. Ia tambah segar. Lihatlah, alam pun senantiasa mendukung usaha yang ditempuh.

Akhirnya gumpalan awan datang menyapa. Menudunginya dari atas mega. Tergambar jelas keteduhan yang sempurna. Senyumnya mengembang dan Awan balas tersenyum.

Dan tiba-tiba gumpalan awan pun berlari-lari. Ditendang angin ke segala penjuru arah. Hatinya layu. Melihat yang ditunggu keburu lenyap dari pandangan. Namun Ia tetap menunggu gumpalan untuknya. Perasaan yakin dan hiburan alam membuatnya semangat menunggu.

Lama Ia menunggu mengandai penuh ragu. Sesekali rambutnya yang sebahu diterpa angin dengan lembut: tergerai. Ilalang terus bernyanyi merdu ditambah siulan angin, cukup menerjang tembok buntu hatinya. Pandangannya ditembakkan ke mega lapang. Berharap yang dinanti segera datang lagi. Meski tanda-tanda kedatangan kembali belum terpampang Ia sama sekali tak lelah menunggu.

Sedari tadi Ia menunggu. Gumpalan awan belum juga menudunginya. Awalnya Ilalang menghiburnya. Kini berbalik arah menogoloknya dengan pongah:

"Tak ada gumpalan awan untukmu!"

Ia cuek saja. Raut mukanya tetap saja penuh semangat.

Angin yang sejak tadi mengelap keringatnya. Kini bernyanyi menyesakkan dada:

"Bodoh. Kau menunggu ketiadaan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun