Dalam dunia yang kita huni ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keyakinan dan pandangan sangat relatif antara manusia satu dengan lainnya. Mungkin Sang Maha Pencipta memberi isyarat untuk mempertegas hal tersebut dengan mencipta muka manusia berbeda-beda -kamu ganteng dan aku sebaliknya, juga mungkin aku ganteng dan kamu sebaliknya -kecuali Ibu-ibu disebut ganteng, bisa dimarahi nanti.
Hingga dalam menjalani kehidupan tidak diragukan lagi terdapat pemutusan pendirian pro atau kontra terhadap suatu aturan atau keyakinan. Karena kehidupan bermasyarakat, bernegara dan dunia harus berlanjut di dalam besarnya perbedaan itu maka para perwakilan dari masing-masing membuat peraturan agar tidak ada pihak merasa dirugikan, melalui pemungutan suara terbanyak, misalnya pemilihan pemimpin. Jadilah aturan yang harus ditaati.
Namun, dengan berjalannya waktu, tahapan demi tahapan kehidupan aturan yang telah disepakati banyak dilanggar: karena hilap atau sengaja memperkeruh suasana. Selain itu ada juga pihak yang selalu merasa tidak setuju dengan putusan dari ketua terpilih sesuai dengan proses yang berlaku –kita sebut oposisi garis keras.
Tentu kaum oposisi garis keras ini menjadi masalah, mau benar atau salah selalu mencari celah. Tapi tidak perlu heran dengan kaum ini. Sebab, sejak manusia pertama diciptakan permainan pro dan kontra telah terjadi, bahkan melawan putusan Sang Maha Pencipta -Tuhan, jika anda percaya tentunya. Yo?
Tuhan menciptakan Adam sebagai mahkluknya yang paling sempurna, dan Tuhan memrintahkan semua mahkluk tunduk pada Adam, tanpa terkecuali. Setelah melayangkan protes Malaikat pun akhirnya tunduk. Namun tidak bagi Setan (Iblis) yang merasa diri lebih mulia dari Adam, perlawanan Setan dikecam oleh Tuhan dan diberikan sangsi.
Setan juga siap menerima sangsi dan meminta pada Tuhan agar diberi kesempatan mengibarkan bendera perang terhadap Adam, hingga anak-cucuNya: Manusia. Maka, atas persetujuan Tuhan setan selalu menghatui manusia sampai saat ini, salah satunya dengan cara adu domba sesamanya.
Lantas, apakah setiap pihak oposisi terdahap pemerintah dll adalah Setan atau dibawah pengaruhnya? Sebentar dulu tuan! Tenang!
Bukankah dalam sejarahnya Nabi Adam -moyang kita-juga dapat dibujuk-rayu setan hingga melanggar perintah Tuhan? Nah, lo. Apalagi manusia sekelas zaman sekarang, yang oleh setan beribu alat dapat digunakan untuk menelikung niat baik seseorang.
Maka, tidak tertutup kemungkinan juga Pak Jokowi lo. Oh, iya Pak Jokowi kan alim-sering diekspos pakai sarung. Yang kata Ustad-ustad (termasuk ustad ngejar tayang) setan sangat takut pada orang alim bahkan ketika tidur. Jadi, meski banyak juga Ustad berbuat 'nekad' Pak Joko kemungkinan besar tidak 'dirasuki' setan. Sesuai benar itu.
Tapi, bagaimana dengan orang sekelilingnya, para staf, para menteri dll, yang minta upah keringat memenangkan 'pertarungan' sebelumnya tidak sesuai atur. Oh ya, mereka juga alim semua. Bisa jadi sih.
Bagaimana dengan pembisnis yang menggelontorkan dana tak terhingga untuk modal kampanye, apa nanti tidak keluar perhitungan sistem ekonominya? Untung-untung sesuai atur, kalau tidak berabe. Nah, ini mungkin lain cerita. Catat tuan: hanya mungkin.
Selain itu mungkin juga keluarganya dibisiki Setan, hingga membuat beliau iba. Mantu dan anak beliau yang cantik jelita misalnya, meminta pakaian mirip artis Hollywood, sebab mosok keluarga Presiden biasa aja. Juga mungkin anak cowoknya minta mobil sport selagi Babe diatas panggung, sebab kapan lagi. Nah, ini sama sekali tidak benar, kayaknya.
Selagi bendera perang belum turun, kemungkinan siapa pun dijadikan setan sebagai budak tidak bisa dibantah. Kabarnya, juga misi elit setan adalah mereka yang pakai kopiah dan pemimpin berposisi basah.
Maka, jangan heran kalau Aku oposisi! Ya, tepat sekali. Yang penting berkaca dulu. Siapa tau dirasuki setan. #Ngeri.
Karena menurut saya erat hubungannya, maka mucul judul kedua: Jangan Heran Kalau Aku Toleransi!
Pada dasarnya, saya yakin betul bahwa manusia itu baik pada sesama. Jika ditesilik tingkatan sejarah, juga diungkapkan dalam kitab-kitab kepercayaan manusia bahwa kita semua bersaudara. Kejadiannya persis tingkah laku seorang Ayah saat ini, untuk menjaga kelonggaran rumah (mungkin juga untuk membatasi pandang dan meredam suara yang mengundang), bagi anaknya yang telah berkeluarga dipisahkan ke rumah lain, dan bisa jadi pindah ke luar Kota, daerah, bahkan negara: sesuai dengan peluang yang paling baik.
Karena perpisahan telah memakan waktu yang lama, tidak saling sapa, hingga anak-turunan mereka tidak saling kenal. Juga perbedaan suhu dan cuaca masing-masing daerah dalam rentang waktu yang panjang merubah betuk rupa, hingga anak-cucu mereka merasa berbeda. Termsuk juga bahasa, bukankah kabar saja antara satu, dua dan tiga bisa berbeda padahal topiknya sama.
Karena anak Ayah telah memiliki cucu, seterusnya cucu-cucu telah memiliki cucu-cucu, berlipat dan berlipat cucu-cucu telah memiliki cucu-cucu dst, hingga sampai pada kita yang merupakan cucu-cucu dari cucu-cucu terdahulu, dan mungkin juga kita sekarang telah memiliki cucu, membuat ajaran Ayah tentang kehidupan juga kepercayaan (agama) berbeda penafsiran antara kita-sebenarnya tujuannya sama. Maka kita harus sepakat bersaudara.
Sebab generasi telah bertingkat menjulang tinggi dan berlainan tempat, ajaran Ayah terdahulu dicetak berbagai versi, sebab pena atau alat cetak lainnya bisa saja eror membuat satu huruf mudah tergeser dan juga sumber pesan kadang salah tafsir, tepatnya berlainan. Hal demikian membuat perbedaan pada kita saat ini.
Jika ingin menguji kepercayaan masing-masing (gak penting sebenarnya) tidak perlu saling sikut, dan kalau kita merasa kepercayaan kita paling benar tidak perlu memaksakan kehendak tidak baik, sebab setan akan menyalakan Kompor.
Karena kita sudah sepakat bersaudara. Maka, adakah orang tidak baik pada saudara? Ada! Semua ada di zaman ‘mudah’ ini, namanya juga mudah. Tapi, pertikaian antara saudara ini bukan salah yang satu atau yang lain, melainkan setan lah mengadu domba dengan menyelam pada nafsu manusia hingga jadi serakah, pembenci dsb. Hal ini sesuai dengan sejarah moyang kita, Adam.
Pertanyaannya, maukah kita diadu domba setan, yang nyata-nyata telah menyatakan perang terhadap kita sampai kiamat? Kalau aku jelas tidak! Kecuali hilap. #hadoh.
Nah, sekarang jangan heran kalau aku toleransi! Aku tidak mau putus persaudaraan karena setan. Lantas, bagaimana caranya? Sebelum bertindak dan bertanduk -sekali lagi- berkaca dulu, jangan-jangan dirasuki setan. #Ngeri.
Penulis punya pengalaman bertoleransi antar-agama ketika kuliah dulu. Kami 30 orang satu kelas. Salah satu teman beragama Kristen, perempuan. Kami yang seagama (Islam) mengadakan acara pengajian, mingguan. Awalnya Ia (Kristen) tidak ikut ngumpul, yailah ngapain juga. Tapi selang beberapa pertemuan, teman yang paling dekat dengannya membuka suara agar kami menganjaknya bergabung, katanya ada semacam kecemburuan darinya, seperti merasa terasingkan karena kami semua perantau dari luar daerah, bahkan lebih dari separuhnya dari luar pulau. Kami setuju.
Pertemuan selanjutnya beberapa dari kami mengajaknya bergabung, Ia menolak, alasannya takut jadi masalah, semacam trauma gitu, sebab Ia berasal dari SULTENG –taukan bagaimana kekacauan antar-agama pada masa silam disana? Di Poso dulu. Kami menjelaskan demi meningkatkan kebersamaan karena setelah acara akan ada acara lanjutan rembug bareng (curhat) dan diantara kami tidak apa. Jadilah dia ikut bergabung (ngumpul doang) kami senang, meski ketika kami mengaji Ia asyik sendiri menyikat hidangan. Setelahnya kami asyik ngeledek, Ia balas ngeledek. Kami pun asyik bergurau riang.
Penulis juga mau bekaca dulu, jangan-jangan ada sesuatu.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H