Nah, sekarang jangan heran kalau aku toleransi! Aku tidak mau putus persaudaraan karena setan. Lantas, bagaimana caranya? Sebelum bertindak dan bertanduk -sekali lagi- berkaca dulu, jangan-jangan dirasuki setan. #Ngeri.
Penulis punya pengalaman bertoleransi antar-agama ketika kuliah dulu. Kami 30 orang satu kelas. Salah satu teman beragama Kristen, perempuan. Kami yang seagama (Islam) mengadakan acara pengajian, mingguan. Awalnya Ia (Kristen) tidak ikut ngumpul, yailah ngapain juga. Tapi selang beberapa pertemuan, teman yang paling dekat dengannya membuka suara agar kami menganjaknya bergabung, katanya ada semacam kecemburuan darinya, seperti merasa terasingkan karena kami semua perantau dari luar daerah, bahkan lebih dari separuhnya dari luar pulau. Kami setuju.
Pertemuan selanjutnya beberapa dari kami mengajaknya bergabung, Ia menolak, alasannya takut jadi masalah, semacam trauma gitu, sebab Ia berasal dari SULTENG –taukan bagaimana kekacauan antar-agama pada masa silam disana? Di Poso dulu. Kami menjelaskan demi meningkatkan kebersamaan karena setelah acara akan ada acara lanjutan rembug bareng (curhat) dan diantara kami tidak apa. Jadilah dia ikut bergabung (ngumpul doang) kami senang, meski ketika kami mengaji Ia asyik sendiri menyikat hidangan. Setelahnya kami asyik ngeledek, Ia balas ngeledek. Kami pun asyik bergurau riang.
Penulis juga mau bekaca dulu, jangan-jangan ada sesuatu.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H