Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Patut Contoh Ayam untuk Menghadapi Bonus Demografi

26 Agustus 2016   21:35 Diperbarui: 26 Agustus 2016   21:59 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata orang tua kita dulu, sungguh sangat cocok untuk menjelaskan tentang memulai tindakan kita, katanya "jadilah anak ayam", ya anak ayam. Pernahkah kita melihat anak ayam, ketika dilepas dari sarangnya langsung mengikuti induknya menyeker tanah, mencari jatah. Si induk langsung mengajari anaknya mencari nafkah, terutama untuk pribadi si anak. Mungkin si induk tau, kalau anak tidak bisa mengandalkannya untuk selamanya. Itu yang patut di contoh dari ayam, tapi tidak mutlak sama.

Kita perlu mempersiapkan keahlian anak sedini mungkin, melatih sendiri atau memasukkannya pada pendidikan vokasi, kalaupun tidak berikan kursus keahlian diluar sekolah, dan atau langsung praktik kerja dengan kita walaupun sebentar meski tidak menghasilkan. Adakah anak tukang pahat, bisa memahat? Adakah anak tukang rajut, bisa merajut? Jarang. Mayoritas dimasukkan pada PTN, agar mendapat ilmu pemerintahan yang cukup, sihingga nantinya dapat menjadi Kepala Dinas atau sekurangnya Kepala Seksi dah. Tujuan semua itu adalah tentang martabat dan ego, serta berharap nantinya kehidupan anak lebih baik dari bapaknya. Ya kalau anak jadi pejabat (tidak korupsi), karna kebanyakan bapak berpikir seperti itu, akhirnya anak tidak kunjung jadi pejabat, karena banyak saingan. Jadilah si anak diawang-awang, jadi pejabat tidak tukang rajut tidak, mulai belajar merajut gengsi, masak Sarjana Pemerintahan jadi tukang rajut. Sama sekali tidak tepat sasaran. Selanjutnya hanya bisa "seandainya ini, seandainya itu", tanpa kejelasan. Jika seperti ini, apakah bonus demografi menjadi keuntungan atau malah menambah tanggungan?

Aspek Lapangan Kerja
Seperti yang saya ceritakan tentang keluarga saya diatas, kehidupan keluarga saya menjadi susah dan sedikit acak-acakan karena minimnya lahan (lapangan kerja), begitu pula bonus demografi jika saja lapangan kerja kurang, sebesar apapun usia produktif yang kita miliki akan menjadi tidak baik, karena ada pengangguran yang harus ditanggung.

Untuk itu, kita perlu mempersiapkan lapangan kerja yang mumpuni dalam menampung tenaga yang akan datang. Siapkan lahan untuk generasi yang datang, agar nanti setelahnya tinggal kerja. Layaknya siapkan payung sebelum hujan. Sebab, seberapapun tingginya pendidikan dan mahirnya keahlian, jika tidak ada lapangan kerja akan sia-sia. Bahkan lebih ironis lagi akan menjadi pemahan keliru untuk anak-anak selanjutnya, karena bekaca pada Abang/Kakaknya yang berpendidikan tinggi tidak kerja, alhasil menjadi malas sekolah.

Kejadian ini, sesuai dengan apa yang terjadi tahun 2014 lalu di daerah penulis, yang mana kalau tidak salah jumlah peserta yang mendaftar PNS sekitar 11,000an, namun yang diterima hanya 200an lebih. Jadi, kita bisa bayangkan berapa jumlah yang tidak beruntung, itu di Kabupaten kecil yang bernama Gayo Lues, lain lagi di daerah lain Indonesia. Pedoman keliru bahwa PNS adalah tujuan utama lapangan kerja perlu dikurangi dalam masyarakat awam –mungkin hanya daerah pedalaman—dengan mempersiapkan lapangan kerja yang bisa menandingi.

Untuk mempersiapkan lapangan kerja diperlukan keterkaitan dari semua pihak, semua eleman pemerintah dan masyarakat. Misalnya, pemerintah harus mempersiapkan wilayah kerja baru dalam dunia usaha dan membimbing yang sudah ada. Berbicara tentang bimbingan pemerintah pada Industri Kecil Menengah (IKM), ada kasus yang tidak sesuai harapan, pada suatu sentra IKM penyulingan Minyak Atsiri di bantu pemerintah alat suling yang menggunakan tenaga listrik dengan daya tinggi dan oleh pelaku industri sulit mengoperasikannya, karena daya listrik yang terlalu tinggi dan kurangnya SDM yang dimiliki. 

Alhasil, bukannya meningkatkan produktivitas sehingga menyerap tenaga kerja, malah sama sekali tidak jalan dan alat raib entah kemana.Dari pihak pemerintah, tidak ada pelatihan penggunaan alat dan solusi penggunaan daya yang menjadi kelemahan IKM. Jika halnya seperti ini, sama saja buang-buang anggaran, saya tidak bermaksud menegaskan bahwa pihak pemerintah mempunyai kepentingan dalam pengadaan alat ini. Padahal, IKM memiliki peran penting untuk meningkatkan pendapatan Negara, walaupun sudah ada pembinaan pada IKM, akan tetapi perlu keseriusan yang lebih lagi, terutama daerah terpencil.

Jadi, untuk menghadapi bonus demografi yang akan datang kita perlu mempersiapkan pendidikan yang baik, keahlian yang matang, dan lapangan kerja yang mampu menampung dan menjanjikan, sihingga kita dapat memetik bonus. Untuk itu, kita perlu mencontoh Ayam, yang mana Induk Ayam langsung mengajak anaknya ke alam bebas untuk mencari rezeki, secepatnya setelah menetas. Induk mengajari anaknya untuk tidak manja, mana makanan dan mana lahan yang akan digarap, serta memberi sinyal bahaya ketika Elang menyambar. Anak Ayam yang dilepas, bukan yang dikurung seperti budidaya ayam sekarang, gemuk memang tapi bandingkan kekuatannya, telurnya, gizinya dan lezatnya. Jika mencontoh itu, siap-siap saja si anak --meminjam salah satu istilah Kompasianer Pak Felix Tani-- menjadi bermental 'Pinjam Sarang Kuasa', anak yang hanya mampu mengandalkan orang terdekatnya. Miris.

Facebook :Wien Dirman Ariga

Twitter : @dirmann

Gayo Lues, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun