Yang menjadi kendala pemenuhan gairah dari keluarga saya (mungkin juga bonus demografi yang akan datang) adalah faktor pendidikan, keahlian dan lapangan kerja. Seandainya ketiga faktor tersebut terpenuhi, keluarga saya tidak kesusahan atau paman saya tidak mungkin masuk penjara, karena paman saya tau perbuatan itu dilarang, dia melakukan itu untuk 4 orang sepupu saya. Jika saja lahan yang diwariskan kakek berlimpah atau paman saya ahli menambal ban, mungkin ceritanya lain, apalagi kalau Arsitektur, dikasih bonus masuk surga juga mungkin paman saya akan mikir.
Maka dari itu, untuk menghadapi bonus demografi kita perlu mempersiapkan pendidikan, keahlian dan lapangan kerja.
Aspek Pendidikan
Pendidikan memang merupakan jalan yang paling utama menuju kesuksesan, betul adanya. Mayoritas orang 'sukses' berpondasi terdidik, walaupun sebagian ada yang tidak melalui bangku pendidikan memperoleh label sukses. Itupun tidak bisa disangkal kebenarannya.
Jadi, karena kebanyakan dari mereka yang mendapat anugrah sukses adalah mereka yang terdidik, maka seharusnya kita mempersiapkan pendidikan yang tepat untuk menghadapi bonus demografi, bukan nanti tapi mulai sekarang. Menurut perkiraan angka 70% produktif dari demografi pada tahun 2020, membuat kita harus cekatan melakukan perbaikan pada setiap aspek pendidikan, agar bonus dapat dipetik sebesar-besarnya karena sudah terdidik.
Kesetaraan mutu pendidikan penting untuk ditingkatkan, saya yakin anak kota tidak lebih baik dari pelosok jika mutu pendidikan sama antara pelosok dan kota. Bagaimana bisa bersaing, jika gedung pendidikan di pelosok diisi oleh orang-orang yang 'sakit', serba kekurangan dalam perlengkapan dan pendidik. Secara tidak sadar, kami merasa di anak tirikan, ya tidak sadar karena kami tidak tau tentang itu.
Contohnya : SMA saya dulu yang baru-baru ini saya dapat kabar dari sepupu, katanya komputer disana hanya ada 6 unit yang masih bisa operasi, bagaimana bisa memenuhi pengetahuan IT dari siswa yang berjumlah ratusan, untuk lab Biologi, Fisika, Kimia dll. Nihil adanya. Contoh lain di SMP saya dulu, dari sepupu saya juga, kalau pendidiknya (guru) masih ada yang mempraktikkan KBT (kasih buku tidur). Minta ampun bukan? Ya, walaupun setelahnya ditegor Kepsek.
Dari contoh diatas, kita bisa menakar peluang alumni SMA saya pada PTN untuk menjadi Sarjana Komputer, Biologi, Kimia, Fisika dsb. Rendah sekali jika dibanding dengan sekolah di pulau jawa, bukan? Apalagi di banding dengan sekolah high class di pulau jawa. Salah siapa? Kalau ingin anak anda bisa Komputer, ya beli sendiri. Begitukah? Tolong jangan. Sekolah satu-satunya harapan kami untuk mendidik anak kami, karena kami memang tidak terdidik. Kami hanya bisa mendidik sedikit moral untuk anak kami.
Jadi, jika kondisi pendidikan kami di pelosok masih seperti itu, kami tidak bisa janji memberikan bonus dimasa yang akan datang, tapi kami tetap berusaha untuk memberi.
Aspek Keahlian (skill)
Dalam dunia kerja, yang mana kita tahu persaingannya cukup ketat dan pertumbuhannya seperti jamur di musim hujan (tapi jamurnya sering tidak manghasilkan), sehingga untuk menjadi wirausaha baru atau menjadi karyawan harus memiliki keahlian yang handal. Wirausahawan harus mampu menonjolkan ciri khas dan keunggulan produk guna bersaing dengan yang lain serta mengetahui pangsa pasar. Kita harus mengetahui kebutuhan pasar, agar memproduksi produk yang bisa dipasarkan, bukan memproduksi produk yang bisa diproduksi.
Didalam dunia usaha, katanya mudah saja, untuk memulai kita perlu merencanakan produk yang akan dihasilkan dan bagaimana tanggapan pasar pada produk (laku atau tidak), yang familiar disebut planning. Selanjutnya jangan lupa mericek kembali apa yang sudah direncanakan, mencari tahu bagian mana yang bolong dan tempel segera (organisationing), kemudian setelah pengorganisasian selesai lakukan (action). Untuk dapat 'menelan' sistem ekonomi --menanam modal sekecil-kecilnya dan mendapat untung sebesar-besarnya-- kita harus jeli melakukan pengawasan, yang disebut controlling.
Sepintas teori diatas mudah saja, siapa yang tidak bisa melakukannya. Namun, kenyataannya di lapangan tidak semudah membaca teori, perlu mendalami semua tahapan teori tersebut, melumat sehalus mungkin agar mudah dicerna sehingga layak disebut ahli. Seorang ahli saja bisa gagal, apalagi kurang atau bahkan tidak ahli, sulit. Maka dari itu, kita perlu melatih keahlian sebelum bertindak. Terus, sejak kapan memulai? Secepatnya, tentu saja.