Remaja adalah pondasi yang paling penting untuk kehidupan. Tanpa remaja, keberlangsungan kehidupan akan fana, putus atau tidak ada generasi selanjutnya. Kehidupan akan tamat sampai disini saja. Oleh sebab itu, persiapan remaja untuk meneruskan kehidupan harus diutamakan agar proses ‘estapet’ kehidupan berjalan dengan baik. Lebih baik dari sebelumnya, terus lebih baik dan seterusnya lebih baik.
Maka dari itu, persiapan harus dirancang dan dipraktekkan sedini mungkin, guna mengantisipasi penyelewengan harapan yang kita inginkan. Mulai dari proses reproduksi dan pengaturan gizi (orang tua) hingga pendidikan remaja tersebut. Kesalahan reproduksi dan gizi bisa menyebakan terinfeksi penyakit serta ‘rasa sakit’ dan gangguan pertumbuhannya, sedangkan kesalahan pendidikan dapat menyebabkan terganggunya proses dalam menjalankan kehidupannya (mental dan sebagian karir).
Pertama,masalah reproduksi. Masalah reproduksi merupakan masalah yang sangat ‘rumit dan sangat penting’. Reproduksi adalah kebutuhan biologis dari setiap kita (manusia), yang mana terkadang pemenuhannya dilakukakan oleh sebagian kita, didorong oleh nafsu. Nafsu yang terlalu besar, menyebababkan akal kita terkendalikannya sehingga ‘membutakan’ pikiran positif. Oleh karena nafsu yang sudah berkuasa, benar atau tidak itu harus dipenuhi. Pemerkosaan dan reproduksi diluar jalur yang sebenarnya (freesex) menjadi jalan keluarnya. Pemenuhan yang terlarang, bukan?. Kacau kawan.
Pemerkosaan terhadap remaja dan freesex sesama remaja di negara kita Indonesia sudah cukup, tidak perlu ditambah lagi. Diberbagai tempat kejadiannya dan bermacam jenisnya. Dan yang paling akut, korbannya anak laki (sodomi). Walaupun semuanya memang tidak baik. Salah satu kejadian yang ‘aneh’ menurut saya, terjadi didaerah saya. Yang mana Pengantin baru diperkosa oleh suaminya sendiri bersama 3 orang lainnya, salah satunya adalah adik kandung si suami yang masih berusia 16 tahun (masih remaja). Alasan suami korban melakukan itu, karena korban tidak mau lagi digauli setelah 3 minggu menikah (kurang pendidikan tentang reproduksi). Rencana itu dirancang untuk memenuhi nafsu si suami, akan tetapi nafsu 3 temannya juga dilampiaskan setelah si suami. Nafsu kembali menjadi dasar kejadian ini. Lihat disini.
Untuk mencengah kesalahan yang fatal dalam proses reproduksi, ‘kesehatan’ reproduksi sangat penting dijaga. Baik itu kesehatan organ reproduksi (pria dan wanita), maupun kesahatan jalannya (melalui jalan nikah misalnya). Nikah adalah jalan satu – satunya yang baik untuk memenuhi proses reproduksi, kita semua tau bahwa hubungan tanpa nikah sejauh ini masih dilarang di Indonesia.
Untuk organ reproduksi, kesehatannya sangat penting untuk kelancaran proses reproduksi dan keyamanannya, yang nantinya sesudah halal tentunya. Menjaga kebersihan pada organ agar tidak terinfeksi penyakit. Penggunaan obat – obatan, perlu ditelusuri dengan jelas. Apakah obat tersebut mempunyai efek yang negatif pada organ yang bisa menimbulkan kesalahan pada proses reproduksi? Kemana kita konsultasi? Tentu pada ahlinya yaitu dokter, tidak cukup hanya meminta pendapat pada teman. Beda orang tentu beda kondisi, relatif.
Untuk jalannya sehingga mencapai pada tujuan yang kita inginkan (reproduksi), harus dengan benar. Benar disini adalah tidak ada pihak yang memaksa dan dipaksa, tidak ada yang melukai dan dilukai, tidak ada menyakiti dan tersakiti, bukan pemerkosaan dan penipuan didalamnya. Untuk memuluskan hasrat dan keinginan sehingga menghipnotis, ‘meracuni’, membohongi dengan imbalan sesuatu setelahnya atau membohongi masalah keyakinan pada salah satu pihak. Dan tentu, jalan yang benar itu adalah suatu proses yang bernama nikah. Bukan ‘kumpul kebo’ alias pergaulan bebas (freesex), yang merupakan hobi remaja sekarang. Kita semua mengetahuinya, bukan?
Selain dari itu, tujuan utama dari reproduksi menjadi salah satu penting untuk diperhatikan yaitu berkembang biak. Menentukan jumlah keturunan yang tepat akan menentukan kualitas keturunan, dari aspek perawatan dan pendidikan.
Zaman sekarang adalah zaman uang, semua perlu dan tergantung uang sekecil apapun itu. Kepercayaan “banyak anak banyak rezeki” dizaman yang serba mahal ini perlu diteliti ulang. Perlu penggalian potensi diri untuk ‘memakan’ mentah – mentah kepercayaan tersebut. Kita bisa melihat kondisi negeri kita kini, dari media misalnya, tidak jarang juga disuguhi tentang kekurangan gizi dan putus sekolah pada anak. Apa penyebabnya? Uang. Tentukan dulu, berapa anak yang tepat berdasarkan kondisi ekonomi kita, sehingga kita mampu menjaga pertumbuhan buah hati dengan baik dan memberikan pendidikan dengan layak.
Satulagi, khusus didaerah saya ada sebagian masyarakat menerapkan paham ‘rakus’ terhadap gender keturunan. Inginnya mempunyai anak dengan jenis kelamin berbeda. Contohnya : seorang pasutri memiliki 4 anak, semua perempuan. Padahal dia menginginkan anak laki – laki, karena kepercayaannya anak laki –laki akan meneruskan keturunan. Jadi, pasutri tersebut terus bereproduksi sampai dianugrahi anak laki – laki. Akhirnya, setelah memiliki 9 anak baru dikaruniai anak laki. Tetapi yang terjadi, anak tidak terawat. Tidak terawat dari segi pertumbuhan dan melarat menyekolahkan anak. Ya, karena dari faktor ekonomi kondisinya memang melarat. Menuruti ambisi dengan kondisi yang sekarat, bukan jalan yang tepat. Apakah ini nyata? Ia kawan, di lingkungan ku tidak sulit mendapatkan tipe ini. Memperihatinkan.
Bagaimana peran orang tua terhadap kesehatan reproduksi? Mmenurut saya besar kawan. Saya 4 orang bersaudara. Selisih umur kami tidak terlalu jauh, sekitar 2 tahunan. Apa yang diajarkan orang tua kami tentang sex kepada kami, begitu bermanfaat. Besar sekali manfaatnya, sejauh ini kami berempat dipandang baik oleh masyarakat, bila dibanding teman – teman yang lain. Kedua orang tua kami sangat protektif, sampai saya berumur 23 tahun masih dianggap seperti anak sekolahan. Jika mau keluar malam saja ditanyain begini “mau kemana? Ngapain? Dengan siapa?..... dll, tetapi bukan dilarang. Biasanya bapak dengan gaya yang agak mengancam dan ibu dengan gaya ngomel, selalu memberi pesan pada saya, inti dari pesannya “jangan memalukan keluarga dengan berbuat masalah, awas!”. Termasuk dalam masalah disini adalah mengganggu anak perempuan orang dan menggunakan narkoba (ganja ditempat saya terkenal banyak). Resikonya ya cuma dibilang teman jomlo dan gak keren, apalah itu. Teman saya yang keren – keren itu sekarang sudah banyak terlibat freesex sehingga belum tamat SMA harus nikah dan dipenjara karena mengisap ganja. Itulah ujungnya yang mereka anggap keren itu kawan. Wadohh.
Apakah orang tua saya mengajar tentang sex secara vulgar? Ya kawan, tetapi tidak di loadspeaker, tersembunyi pada waktu tertentu dan biasanya dibarengin dengan ceramah agama sebagai penguat. Sekarang saya anggap itu keren, tapi waktu diajarin kesal juga sih. Dan menurut saya, pendidikan tentang sex memang tidak perlu berjemaah, karena itu mengundang malu bagi yang ‘lugu’ dan mengundang penasaran bagi yang ‘ngeres’. Bisa jadi langsung praktek setelahnya atau mengurangi konsentrasi pendidikan yang lain, terfokus pada itu saja. Remaja kawan, masih labil.
Kedua,masalah gizi. Masalah gizi merupakan yang cukup penting. Untuk menjaga pertumbuhan tubuh dan akal remaja, pengaturan gizi sejak dini ikut menentukan. Gizi berperan penting untuk pertumbuhan kita, didalamnya tubuh dan akal pikiran. Gizi yang baik akan membuat tubuh dan akal menjadi sehat dan proporsional. Sebaliknya jika tidak, akan membuat tubuh dan akal menjadi tidak sehat dan proporsional. Yang mana tubuh dan akal disini perlu berimbang.
Tubuh yang sehat dan proporsional akan membuat remaja aktif dan energik dalam melakukan aktivitasnya. Kepercayaan diri yang tinggi dan tenaga yang kuat, memudahkan untuk mencapai tujuan. Gangguan yang bernama sakit dikalahkan sehat, terkadang sakit menciptakan mental yang buruk. Minder dan tidak punya tenaga misalnya. Karena sakit, minder bergaul atau tidak kuat mengikuti remaja yang lain. Selain itu proporsi tubuh juga akan mempengaruhi mental remaja, sebab sebagian remaja mengkotak – kotak pertemanan. Kebiasaan yang buruk. Pembulian sesama remaja yang menjadi sasarannya tentang fisik sering menjatuhkan mental, setidaknya yang saya alami begitu.
Waktu SMA saya sering mendapatkannya. Karena saya pendek (kurang gizi mungkin), meski banyak yang sama pendek dan ada juga yang lebih pendek, mendengar kata “pendek loe”dari teman rasa sakit didalam hati terkadang muncul tanpa diundang. Dari yang sakitnya biasa saja sampai sangat menyakitkan, pernah saya alami. Walaupun selanjutnya saya tidak memikirkan, apapun kata teman menyudutkan saya (berfikir positif). Bagaimana jika yang di buli adalah seorang yang akan membawa derita pikir terhadapnya? Mentalnya jatuh, minder, murung dan dendam yang akan muncul. Dendam akan menimbulkan perkelahian sampai tingkat brutal, baik adu fisik ataupun mulut. Pengalaman saya, adu jotos dilakukan sesama jenis dan caki – maki berlainan jenis. Kemungkinan dendam pada lawan jenis akan berakibat lebih fatal, meskipun semuanya fatal. Jika remaja laki – laki dendam pada remaja perempuan, bisa jadi balasannya adalah pemerkosaan. Ah, jagan. Pun sebaliknya remaja perempuan dendam pada remaja laki – laki, bisa jadi balasannya adalah fitnah. Ah, itu juga jangan.
Untuk menyerap derita sakit dan pembulian pada tubuh, diperlukan akal dan pikiran yang sehat pada setiap remaja. Dengan akal dan pikiran sehat tetapi tubuh sakit, tidak menimbulkan rasa ragu untuk beraktivitas. Kita bisa berpikir “sakit adalah cobaan”, tidak perlu takut kedatangannya dan kita bisa berpikir “semua orang bisa saja sakit”, itu kalau akal kita sehat. Dan reaksi dari remaja lainnya yang berakal sehat juga bukan pembulian, bahkan bisa jadi semangat yang diberikan pada remaja yang ‘menderita’, baik itu yang menderita sakit (penyakit) maupun proporsional tidaknya tubuh. Gizi penting juga, bukan? Maka, jangan mereproduksi Overdosis dari kemampuan yang kita miliki. Apakah saya melarang reproduksi? Tidak. Kontrasepsi sesuai petunjuk dokter bisa jadi pilihan.
Untuk mendapatkan mental sesuai harapan kita bersama (terdidik), tidak semata – mata hanya memasukkan remaja pada instansi pendidikan tertentu saja, itu belum cukup. Disini kita perlu memastikan pendidikan yang baik dan benar serta mengontrol diluar pendidikan, karena pada kenyataannya yang bermental buruk belum tentu yang tidak pernah mengecap pendidikan.Orang tua ikut berperan penting terhadap pendidikan anak. Orang tua kembali menjadi aktor. Namanya juga tanggung jawab kawan.
Selain pendidikan formal (sekolah), untuk menguatkan mental harapan, kita penting juga memberikan pendidikan informal. Agama misalnya. Meskipun, ajaran pada sekolah sudah cukup, jika peserta didik mampu mengamalkan semua ajaran pendidikan yang diberikan pendidik. Pada kenyataannya pelajaran di sekolah saja tidak cukup, terbukti dengan banyaknya tawuran pelajar yang masih berseragam sekolah. Pembulian teman pada saya dan teman lain yang saya sebutkan diatas adalah akhlak yang tidak baik dan itu kejadiannya didalam sekolah yaitu ketika saya berseragam SMA.
Maka dari itu, pendidikan diluar sekolah juga begitu penting. Bahkan kita sering mendengar dari pihak sekolah, dengan ketidakmampuannya ( secara total) meminta agar kita (orang tua/wali) untuk membantu dalam proses pendidikan. Lebih tepatnya pendidikan diluar sekolah dan mengontrol keaktifan dalam menggeluti proses sekolah.
Kita sebagai orang tua/wali, tentu ingin yang terbaik untuk anak. Apapun akan diberikan, dengan catatan : berdasarkan kemampuan dan dengan cara yang benar. Jika tidak waras tidak perlu dipraktekkan, karena itu pada hakekatnya akan berdampak negatif di kemudian hari. Sebagai contoh (anggap saya mendapat cerita dari teman) : seorang ayah mempunyai anak yang sudah sarjana, bekerja di Dinas Pendidikan. Si ayah berteman dekat dengan pemimpin daerah (bupati). Secara diam – diam dan tersembunyi membantu pada proses ‘penjebolan’ si Bupati. Si ayah melobi pada temannya agar anaknya mendapat pekerjaan pada Pemda. Sebagai abdi negeri. Bupati dengan pertimbangan jasa dari temannya, tanpa tedeng aling – aling tapi terstruktur mengabulkan, walaupun si sarjana tidak ‘karuan’. Gelar sarjanannya saja dipertanyakan kejelasannya. Apakah jebol? Ya dong. Bupati gitu loh. Apakah praktek ini masih ada? Jawabannya tidak pada saya. Malas saya membayangkan kinerja abdi negara yang seperti itu, karena takut dibilang iri.
Dari cerita teman saya itu, kita (ayah) telah mengajarkan ajaran nepotisme pada anak secara tidak langsung, sehingga si anak mendapat cara melakukan (pelajaran, pendidikan) nepotisme. Kalau si anak mempraktekkan pada waktu tertentu, jadi si anak bermental nepotisme. Semoga tidak dipraktekkan. Lebih parah lagi yang menjadi aktor pertama (penentu) adalah pemimpin, ada berapa banyak koleganya yang sudah dibantu seperti itu? Puluhan? Ratusan? Atau bahkan ribuan? Atau lebih?
Dampak dari praktek itu juga, menimbulkan mental negatif pada yang lain, karena merasa tidak akan mendapat kesempatan. Para remaja menjadi putus asa dalam menggeluti pendidikan, tidak mau sekolah, tidak mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Dalam watak mereka terpatri sebuah dogma baru yang keliru “walaupun berpendidikan dengan gelar ‘Es Cendol’ hidup kita biasa – biasa saja, kuliah itu menghabis – habiskan uang saja hidup juga sudah susah, buat apa sekolah toh akhirnya juga tidak mendapatkan kerja yang layak”. Ya ,jadilah kita (remaja) bermental tidak terdidik. Ini lagi booming pada remaja di lingkungan saya. Sedih ya, kawan?
Kesimpulan
Untuk mencegah kesalahan reproduksi kita memerlukan pelajaran kesehatan reproduksi, baik itu kesehatan organ, proses dan ‘hasil’ reproduksi. Dengan sehatnya organ dan proses reproduksi akan menjaga fungsinya sebagaimana mestinya (kenikmatan dan keturunan) dan sesuai ketentuannya yang berlaku (nikah). Dengan sehatnya hasil (anak) dari reproduksi akan memudahkan kita merawat pertumbuhannya dan pendidikannya. Dengan sehatnya semua aspek dari remaja yang mencakup didalamnya masalah reproduksi, gizi dan pendidikan, dengan sendirinya (alami) akan merevolusi mental remaja menjadi lebih baik. Dengan baiknya remaja tentu kedepannya negara akan baik pula. Remaja pondasi negara. Begitukan kawan?
Akhirnya, untuk membangun kualitas kesehatan reproduksi dan merevolusi mental remaja Indonesia menjadi lebih baik (sehat reproduksi dan sehat mental) dimulai dari kita semua. Kita disini adalah orang tua (aktor utama), pemerintah dan tentu remaja itu sendiri. Kita semua untuk remaja, remaja semua untuk kita.
Salam Remaja untuk Kita
Gayo Lues, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H