Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sedikit untuk Kita dan Remaja

15 Juli 2016   20:48 Diperbarui: 16 Juli 2016   10:46 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah orang tua saya mengajar tentang sex secara vulgar? Ya kawan, tetapi tidak di loadspeaker, tersembunyi pada waktu tertentu dan biasanya dibarengin dengan ceramah agama sebagai penguat. Sekarang saya anggap itu keren, tapi waktu diajarin kesal juga sih. Dan menurut saya, pendidikan tentang sex memang tidak perlu berjemaah, karena itu mengundang malu bagi yang ‘lugu’ dan mengundang penasaran bagi yang ‘ngeres’. Bisa jadi langsung praktek setelahnya atau mengurangi konsentrasi pendidikan yang lain, terfokus pada itu saja. Remaja kawan, masih labil.

Kedua,masalah gizi. Masalah gizi merupakan yang cukup penting. Untuk menjaga pertumbuhan tubuh dan akal remaja, pengaturan gizi sejak dini ikut menentukan. Gizi berperan penting untuk pertumbuhan kita, didalamnya tubuh dan akal pikiran. Gizi yang baik akan membuat tubuh dan akal menjadi sehat dan proporsional. Sebaliknya jika tidak, akan membuat tubuh dan akal menjadi tidak sehat dan proporsional. Yang mana tubuh dan akal disini perlu berimbang.

Tubuh yang sehat dan proporsional akan membuat remaja aktif dan energik dalam melakukan aktivitasnya. Kepercayaan diri yang tinggi dan tenaga yang kuat, memudahkan untuk mencapai tujuan. Gangguan yang bernama sakit dikalahkan sehat, terkadang sakit menciptakan mental yang buruk. Minder dan tidak punya tenaga misalnya. Karena sakit, minder bergaul atau tidak kuat mengikuti remaja yang lain. Selain itu proporsi tubuh juga akan mempengaruhi mental remaja, sebab sebagian remaja mengkotak – kotak pertemanan. Kebiasaan yang buruk. Pembulian sesama remaja yang menjadi sasarannya tentang fisik sering menjatuhkan mental, setidaknya yang saya alami begitu.

Waktu SMA saya sering mendapatkannya. Karena saya pendek (kurang gizi mungkin), meski banyak yang sama pendek dan ada juga yang lebih pendek, mendengar kata “pendek loe”dari teman rasa sakit didalam hati terkadang muncul tanpa diundang. Dari yang sakitnya biasa saja sampai sangat menyakitkan, pernah saya alami. Walaupun selanjutnya saya tidak memikirkan, apapun kata teman menyudutkan saya (berfikir positif). Bagaimana jika yang di buli adalah seorang yang akan membawa derita pikir terhadapnya? Mentalnya jatuh, minder, murung dan dendam yang akan muncul. Dendam akan menimbulkan perkelahian sampai tingkat brutal, baik adu fisik ataupun mulut. Pengalaman saya, adu jotos dilakukan sesama jenis dan caki – maki berlainan jenis. Kemungkinan dendam pada lawan jenis akan berakibat lebih fatal, meskipun semuanya fatal. Jika remaja laki – laki dendam pada remaja perempuan, bisa jadi balasannya adalah pemerkosaan. Ah, jagan. Pun sebaliknya remaja perempuan dendam pada remaja laki – laki, bisa jadi balasannya adalah fitnah. Ah, itu juga jangan.

Untuk menyerap derita sakit dan pembulian pada tubuh, diperlukan akal dan pikiran yang sehat pada setiap remaja. Dengan akal dan pikiran sehat tetapi tubuh sakit, tidak menimbulkan rasa ragu untuk beraktivitas. Kita bisa berpikir “sakit adalah cobaan”, tidak perlu takut kedatangannya dan kita bisa berpikir “semua orang bisa saja sakit”, itu kalau akal kita sehat. Dan reaksi dari remaja lainnya yang berakal sehat juga bukan pembulian, bahkan bisa jadi semangat yang diberikan pada remaja yang ‘menderita’, baik itu yang menderita sakit (penyakit) maupun proporsional tidaknya tubuh. Gizi penting juga, bukan? Maka, jangan mereproduksi Overdosis dari kemampuan yang kita miliki. Apakah saya melarang reproduksi? Tidak. Kontrasepsi sesuai petunjuk dokter bisa jadi pilihan.

ilustrasi kekurangan gizi/sumber : www.netizenpos.com
ilustrasi kekurangan gizi/sumber : www.netizenpos.com
Ketiga,masalah pendidikan. Pendidikan merupakan proses yang paling penting untuk menentukan mental remaja, sehingga ada sebutan “mental terdidik dan mental tidak terdidik”. Mental terdidik adalah mental baik, yang mana seharusnya melekat sempurna pada remaja. Untuk mendapatkan ini tentu melalui proses pendidikan, formal dan non formal. Mental tidak terdidik adalah mental buruk, ini yang tidak kita inginkan.

Untuk mendapatkan mental sesuai harapan kita bersama (terdidik), tidak semata – mata hanya memasukkan remaja pada instansi pendidikan tertentu saja, itu belum cukup. Disini kita perlu memastikan pendidikan yang baik dan benar serta mengontrol diluar pendidikan, karena pada kenyataannya yang bermental buruk belum tentu yang tidak pernah mengecap pendidikan.Orang tua ikut berperan penting terhadap pendidikan anak. Orang tua kembali menjadi aktor. Namanya juga tanggung jawab kawan.

Selain pendidikan formal (sekolah), untuk menguatkan mental harapan, kita penting juga memberikan pendidikan informal. Agama misalnya. Meskipun, ajaran pada sekolah sudah cukup, jika peserta didik mampu mengamalkan semua ajaran pendidikan yang diberikan pendidik. Pada kenyataannya pelajaran di sekolah saja tidak cukup, terbukti dengan banyaknya tawuran pelajar yang masih berseragam sekolah. Pembulian teman pada saya dan teman lain yang saya sebutkan diatas adalah akhlak yang tidak baik dan itu kejadiannya didalam sekolah yaitu ketika saya berseragam SMA.

Maka dari itu, pendidikan diluar sekolah juga begitu penting. Bahkan kita sering mendengar dari pihak sekolah, dengan ketidakmampuannya ( secara total) meminta agar kita (orang tua/wali) untuk membantu dalam proses pendidikan. Lebih tepatnya pendidikan diluar sekolah dan mengontrol keaktifan dalam menggeluti proses sekolah.

Kita sebagai orang tua/wali, tentu ingin yang terbaik untuk anak. Apapun akan diberikan, dengan catatan : berdasarkan kemampuan dan dengan cara yang benar. Jika tidak waras tidak perlu dipraktekkan, karena itu pada hakekatnya akan berdampak negatif di kemudian hari. Sebagai contoh (anggap saya mendapat cerita dari teman) : seorang ayah mempunyai anak yang sudah sarjana, bekerja di Dinas Pendidikan. Si ayah berteman dekat dengan pemimpin daerah (bupati). Secara diam – diam dan tersembunyi membantu pada proses ‘penjebolan’ si Bupati. Si ayah melobi pada temannya agar anaknya mendapat pekerjaan pada Pemda. Sebagai abdi negeri. Bupati dengan pertimbangan jasa dari temannya, tanpa tedeng aling – aling tapi terstruktur mengabulkan, walaupun si sarjana tidak ‘karuan’. Gelar sarjanannya saja dipertanyakan kejelasannya. Apakah jebol? Ya dong. Bupati gitu loh. Apakah praktek ini masih ada? Jawabannya tidak pada saya. Malas saya membayangkan kinerja abdi negara yang seperti itu, karena takut dibilang iri.

Dari cerita teman saya itu, kita (ayah) telah mengajarkan ajaran nepotisme pada anak secara tidak langsung, sehingga si anak mendapat cara melakukan (pelajaran, pendidikan) nepotisme. Kalau si anak mempraktekkan pada waktu tertentu, jadi si anak bermental nepotisme. Semoga tidak dipraktekkan. Lebih parah lagi yang menjadi aktor pertama (penentu) adalah pemimpin, ada berapa banyak koleganya yang sudah dibantu seperti itu? Puluhan? Ratusan? Atau bahkan ribuan? Atau lebih?

Dampak dari praktek itu juga, menimbulkan mental negatif pada yang lain, karena merasa tidak akan mendapat kesempatan. Para remaja menjadi putus asa dalam menggeluti pendidikan, tidak mau sekolah, tidak mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Dalam watak mereka terpatri sebuah dogma baru yang keliru “walaupun berpendidikan dengan gelar ‘Es Cendol’ hidup kita biasa – biasa saja, kuliah itu menghabis – habiskan uang saja hidup juga sudah susah, buat apa sekolah toh akhirnya juga tidak mendapatkan kerja yang layak”. Ya ,jadilah kita (remaja) bermental tidak terdidik. Ini lagi booming pada remaja di lingkungan saya. Sedih ya, kawan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun