bahasa daerah karena jumlah penutur bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa, terus berkurang. Salah satu cara untuk merevitalisasi sebuah bahasa adalah melalui gerakan literasi yang dilakukan oleh generasi muda. Namun, ternyata belum banyak kawula muda Jawa yang tertarik untuk melakukannya. Mengapa?
Selama ini, banyak dilakukan usaha untuk merevitalisasiFaktor internal
Yang pertama, pandangan generasi muda tentang bahasa Jawa. Begitu mendengar "bahasa Jawa", dalam pikiran mereka yang terlintas adalah bahasa Jawa krama. Â Mereka menganggap bahasa Jawa ngoko, yang mereka gunakan sehari-hari, bukanlah bahasa Jawa. Di sisi lain, mereka mulai kurang fasih menggunakan bahasa Jawa krama. Anak muda takut berbicara dalam bahasa Jawa krama karena takut salah penerapan. Yang kedua, mereka tidak tahu atau tidak terbiasa (bagi yang tahu) memakai ejaan yang benar. Sewaktu menulis teks di media sosial, seringkali mereka menulis kata sesuai pengucapannya misalnya, 'apa' ditulis 'opo', 'lara apa' ditulis 'loro opo'. Yang ketiga, anggapan bahwa bahasa Jawa kurang keren dan kuno, milik orang-orang tua. Lebih menarik belajar asing.
Faktor eksternal
Yang pertama, makin banyak keluarga yang tidak menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, adanya sanksi sosial yang diberikan generasi sepuh jika mereka melihat generasi muda keliru dalam penggunaan bahasa Jawa. Para generasi sepuh terkadang terlalu kritis dan sangat bersemangat memarahi anak muda yang keliru menerapkan tingkatan bahasa Jawa. Alhasil, generasi muda lebih memilih untuk berbicara dalam bahasa Indonesia kepada orang yang lebih tua. Ketiga, tulisan yang sudah diterbitkan dalam bahasa Jawa membahas topik yang kurang menarik bagi generasi muda. Selama ini memang sudah ada majalah atau buku bahasa Jawa, tetapi bahasanya masih bahasa sepuh dan topiknya kekunoan, hanya berkisar jagading lelembut, zaman Majapahit, silat, atau budaya. Kawula muda lebih tertarik dengan topik kekinian daripada kekunoan.
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan minat literasi bahasa Jawa bagi generasi muda?
Yang pertama, perlunya sosialisasi tentang penggunaan bahasa Jawa yang benar. Bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan situasinya. Bahasa Jawa krama pun bisa terdengar kasar jika diungkapkan dengan maksud dan nada yang tidak tepat, misalnya "Panjenengan kula aturi medal" atau "Panjenengan kula aturi pejah". Ini bukan lagi masalah bentuk, tetapi masalah makna. Jadi, tidak ada masalah literasi dalam bahasa Jawa ngoko.
Kedua, perlu diadakan kelas menulis bahasa Jawa sebagai wadah bagi generasi muda untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman dalam bahasa ibu. Perlu juga diadakan penulisan sastra berbahasa Jawa di sekolah-sekolah. Jika bahasa ibu seseorang adalah bahasa Jawa ngoko modern, biarlah dia menulis dalam bahasa tersebut. Baru nanti, diadakan pendampingan untuk menulis ejaan yang benar.
Ketiga, jika seseorang sulit untuk menulis, hal pertama yang bisa dilakukan adalah menceritakan pengalaman dan perasaannya secara lisan sambil direkam, senatural mungkin tanpa direkayasa sebelumnya. Setelah itu, barulah rekaman tersebut dikonversikan ke dalam teks.
Keempat, perlu adanya majalah anak muda berbahasa Jawa sehingga setiap anak muda bisa langsung berkontribusi untuk menulis artikel di dalamnya. Artikelnya sebaiknya peristiwa terkini atau yang paling diminati anak muda. Kelima, adanya kompetisi dan kegiatan penulisan bahasa Jawa ngoko. Memang sudah ada kompetisi demikian, namun perlu lebih digiatkan lagi.
Keenam, perlu adanya kesempatan untuk menerbitkan karya-karya bahasa Jawa melalui penerbit mayor sehingga karya-karya tersebut bisa dikenal di seluruh Indonesia, bahkan di luar negeri. Bisa dibaca oleh diaspora Jawa di berbagai negara.