Berguru di Rumah Si Pitung dan Masjid Al Alam Marunda
Yess! Alhamdulillah terdfatr jadi peserta jalan-jalan ke rumah Si Pitung, Sabtu 13 Juli 2019 bersama rombongan komunitas Click yang digagas admin Kompasianer Senior Ibu Muthiah Alhasany.
Tidak banyak bertanya mengenai rute karena kali ini peserta berkumpul di Stasiun Kota. Kami yang dari Cianjur tentu saja harus ke Bogor supaya bisa naik kereta listrik. Perjalanan lancar, sebelum jam dua siang waktu yang disepakati kami sudah berada di Satsiun Kota.
Masih ada waktu sekitar 40 menit, kami pergunakan untuk solat duhur. Saya terperanjat ketika berwudhu, airnya asin! Puih... Air laut ternyata...
Setelah semua peserta kumpul, ada Pak Dian Kelana, Mbak Nisa, Mbak Sukma, Mbak Titis, sama siapa lagi saya lupa hehehe kami langsung lanjut naik kereta listrik menuju Tanjung Priok. Di sana Bowo dan Siti sesama Kompasianer sudah menunggu.
Turun dari kereta kami langsung naik busway menuju Marunda. Jalan kaki sekitar 500 meter sampai di bangunan cagar budaya Rumah Si Pitung. Setibanya di lokasi Pak Dian mengajak untuk solat ashar lebih dahulu. Beruntung dari mushola kami bisa melihat matahari yang akan tenggelam bersama kapal-kapal yang bersandar. Karena kalau tidak kami tidak akan punya foto matahari di pantai secara di akhir perjalanan ketika kami berburu sunset justru tidak berhasil karena awan yang sangat pekat.
Setelah foto di sekitar mushola dan bangunan adat Betawi lainnya kami langsung masuk ke rumah Si Pitung melalui anak tangga. Di dalamnya lengkap perabotan jadul khas Betawi meski sebagian besar saya lihat percis juga dengan alat rumah tangga di kampung saya alias budaya Sunda. Begitu juga dengan furnitur dan perabotan lainnya.
Rumah panggung memang tidak jauh bda dengan kondisi rumah kami di Pagelaran Cianjur, sekitar 3 tahun lalu sebelum akhirnya kini direnovasi karena sudah terlalu tua. Jadi ketika menemui perabotan jadul, sebagian malah masih kami miliki juga di rumah.
Selama berada di dalam Rumah Si Pitung saya membayangkan Si Pitung pahlawan dari Betawi yang pernah saya lihat filmnya di televisi saat masih sekolah. Si Pitung pemberani karena selalu melawan penjajah Belanda. Si Pitung jagoan pembela rakyat dan tidak pernah kalah karena meski ditembak seluruh tubuhnya anti peluru. Satu kelemahan Si Pitung adalah ditembak dengan peluru emas.
Anak saya terlihat senang bermain di rumah panggung yang sangat besar. Andai banyak waktu ingin kami "berguru" lebih banyak di Rumah Si Pitung ini.
Hasil dari berguru di sana selama beberapa jam saya jadi tahu nama asli Si Pitung adalah Salihoen. Ayahnya bernama Piung dan ibunya Pinah. Si Pitung belajar di pesantren milik Haji Naipin. Di luar kegiatan pesantren, Si Pitung membantu jualan kambing milik ayahnya dan belajar silat.
Si Pitung menggunakan kemampuan beladirinya untuk membela orang-orang lemah. Banyak tuan tanah dan orang Belanda takluk pada kemampuan beladiri Si Pitung. Harta benda mereka diambil dan dikasih kembali oleh Si Pitung yang selalu membawa golok  di pinggangnya dan sarung tersampir di lehernya itu kepada penduduk.
Pada akhirnya Si Pitung pun menemui ajal. Tertembak peluru emas A.M.V Hinne, seorang Kepala Polisi Karesidenan Batavia. Meski Si Pitung seorang pahlawan, namun ia bukanlah pahlawan nasional.
Puas berfoto di Rumah Si Pitung kami berjalan kaki mengitari bangunan bertembok tinggi untuk sampai di Mesjid Al Alam Si Pitung Marunda. Masjid ini termasuk bangunan cagar budaya pula karena termasuk bangunan kuno yang dilestarikan pemerintah.
Kami sebelas orang Kompasianer, dua belas bersama anak saya, Fahmi lanjut mengunjungi Masjid Al Alam sebagai salah satu situs sejarah peradaban Muslim di Jakarta yang berdiri pada abad ke-16.
Nama Marunda sendiri katanya berasal dari singkatan Markas Penundaan. Marunda sendiri dahulunya masih termasuk wilayah Bekasi. Pada pertengahan 1970, Marunda akhirnya ditetapkan masuk wilayah Jakarta Utara.
Nama Masjid Al Alam sempat beberapa kali berubah. Sebelum Al Alam, nama masjid ini adalah Masjid Agung Auliya. Karena dekat dengan Rumah Si Pitung masjid ini namanya lebih dikenal Masjid Al Alam Si Pitung.
Ketika rombongan Kompasianer datang, suasana di halaman masjid lengang bersih. Yang tampak unik ketika solat magrib di dalam ada empat pilar yang menopang masjid.
Di belakang lokasi masjid, sekaligus jalan menuju pantai Marunda terdapat makam para suhada pembela kemerdekaan dari bangsa Belanda.
Meski suasana dipinggir pantai, namun air yang dipakai untuk bersuci murni air tawar. Saya sampai heran di Stasiun Kota airnya kok air laut, sementara di pinggir laut airnya malah jernih dan bersih tawar. Di ibukota memang tidak ada yang tidak mungkin ya, hehehe.
Setelah puas menikmati suasana pantai, seluruh rombongan diajak Bu Muthiah makan ikan bakar di sekitar belakang masjid. Oya kami tidak bisa melihat matahari terbenam karena awan yang sangat tebal. Semakin gelap semakin jelas saja kelap kelip lampu kapal di lautan sana.
Selepas isya, selesai makan malam kami pulang kembali menaiki Transjakarta menuju Stasiun Kota. Mbak Siti dan Mbak Titis berpisah di Marunda karena mereka jarak ke rumahnya lebih dekat dan mudah menggunakan ojek.
Kami sendiri ke Cianjur sampai rumah hampir subuh. Tidak sia-sia melakukan perjalanan jauh karena kami pikir sebanding dengan wawasan serta pengalaman yang kami dapatkan. Terimakasih Komunitas Kompasiana pengguna Commuterline sudah memfasilitasi perjalanan menyenangkan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H