Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dianggap Kriminal oleh Kominfo, Bjorka Sebenarnya Blessing in Disguise

13 September 2022   12:55 Diperbarui: 14 September 2022   19:36 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hacker Bjorka masih menjadi sorotan. Kebocoran-kebocoran data yang ditimbulkannya berhasil menggeser sejumlah isu panas, seperti Kasus Ferdy Sambo dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sejumlah pihak, termasuk kominfo, menganggap Bjorka sebagai pelaku kriminal.

Dari Kacamata Hukum, Hacker Bjorka memang Penjahat

Menkominfo Johnny G Plate sendiri mengungkapkan keheranan kenapa illegal hacker, seperti Bjorka, malah dianggap sebagai pahlawan.

"Aneh kita? Saya lihat beritanya kok, ilegal hacker ini menjadi seperti pahlawan yang dielu-elukan," kata Johnny G Plate dikutip dari Tribunnews, pada 9 September 2022.

Johnny G Plate pun menganggap masyarakat terkesan seperti memberi dukungan. Katanya, dukungan tersebut justru mencerminkan bahwa publik turut membuat ruang digital menjadi tidak sehat.

"Kalau memberikan dukungan seperti itu, kita mengambil bagian di dalam yang membuat ruang digital kita kotor. Jangan sampai ruang kita diisi dengan illegal hacker yang menjadi pahlawan," tandasnya.

Banyak pihak yang mendukung atau berpandangan serupa Menkominfo Johnny G Plate. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Suteki, misalnya.


Suteki yang jabatannya dicopot gegara dianggap memberikan dukungan kepada Hizbut Tahrir Indonesia ini bahkan mengatakan idiot kepada masyarakat yang mengelu-elukan dan memandang Bjorka sebagai pahlawan. Sebab, menurut Suteki, data yang dibocorkan Bjorka adalah data milik masyarakat sendiri. Karena ulah Bjorka tersebut masyarakatlah yang justru dirugikan.

Lebih lanjut, Suteki pun mengatakan Indonesia sudah memiliki pagar untuk melindungi data dari tindak pembobolan, contohnya Undang-undang (UU) No. 19 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Bahkan, tentang pengamanan data telekomunikasi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tentang Telekomunikasi.

Dalam UU Telekomunikasi tersebut, misalnya, pada Pasal 39 disebutkan tentang kewajiban bagi penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi. 

Kemudian, dalam Pasal 40 menyatakan, "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun." Dan, barang siapa yang melanggarnya dapat dipidana dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.

Aktivitas hacking yang dilakukan Bjorka dapat dikategorikan sebagai kegiatan penyadapan. Pasalnya, hacker yang mengaku berdomisili di Warsawa, Polandia ini melakukan perekaman atau pencatatan dokumen elektronik dengan menggunakan jaringan nirkabel.

Dari kacamata hukum, Bjorka dan hacker-hacker lainnya adalah penjahat. Karena mereka telah melanggar hukum dan merugikan masyarakat.

Dari kacamata hukum pula, Bjorka dan hacker-hacker lainnya tidak ubahnya Julian Assange yang mencuri informasi rahasia pemerintah Amerika Serikat lalu mempublikasikannya melalui situs WIkiLeak.org. Assange saat ini telah ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Inggris dan akan diekstradisi ke AS. 

Beda dari Kominfo, Masyarakat Anggap Bjorka Pahlawan

Dari kacamata hukum, Bjorka memang penjahat, tetapi tidak dari kacamata sos. Dari kacamata sosial atau apapun istilahnya, Bjorka adalah pahlawan.

Bjorka dianggap pahlawan karena dengan caranya ia menunjukkan keberaniannya melawan kekuasaan.

Dalam negara demokrasi, penguasa head to head dengan rakyat. Karena itulah konstitusi membentuk parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam menghadapi kekuasaan.

Lewat posisinya sebagai rakyat, Bjorka melawan kekuasaan dengan membuktikan kelemahan-kelemahan penguasa dalam melindungi data pribadi rakyatnya.

Seperti halnya Julian Assange yang dielu-elukan dan dipahlawankan oleh masyarakat dunia karena berani melawan hegemoni Amerika Serikat atas negara-negara lainnya, begitu juga dengan Bjorka.

Aksi peretasan Bjorka memang masih kalah jauh dibanding Assange. Aksi Bjorka malah terbilang picisan karena korbannya adalah masyarakat. Masyarakat yang datanya diumbar Bjorka inilah yang kemudian menanggung akibatnya.

Dirugikan oleh aksi Bjorka, masyarakat bukannya tidak menyadarinya. Hanya saja, masyarakat sudah kelewat geram karena kebocoran data terus berulang, bahkan menjadi semakin masif.  Anehnya, makin maraknya kebocoran data ini justru terjadi setelah Badan Siber dan Sandi Negara didirikan pada 2017 dan diperkuat pada 2021 lewat Perpres 28/2021.

Aksi Hacking Bjorka Blessing in Disguise 

Menurut laporan Id-SIRTII/CC (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure/Coordination Center) yang berada di bawah Direktorat Operasi Keamanan Siber BSSN, sepanjang 2021 terjadi lebih dari 1,6 miliar atau tepatnya 1.637.973.022 serangan siber (cyber attack) yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Bila dirata-rata, sepanjang 2021 , ada lebih dari 136 juta serangan siber setiap bulannya.

Banyaknya serangan siber tersebut membuat Menkominfo Johnny G Plate dan jajaran kementerian yang dipimpinnya tak lelah mengingatkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk lebih meningkatkan pengamanan datanya. 

"Dari dulu saya sudah menyampaikan berulang-ulang agar teknologi cyber security untuk enkripsi itu harus kuat di semua penyelenggara sistem yang menggunakan data masyarakat untuk perlindungan data masyarakat," ujar Johnny Plate di Pullman Hotel, Jakarta Pusat, pada 19 Agustus 2022.

Kominfo tidak hanya bicara. Bersama BSSN, kementerian ini juga terus melakukan evaluasi dan pendampingan bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE).

Tapi, faktanya, kebocoran data atau peretasan terus terjadi. Artinya, peringatan Kominfo tidak digubris oleh PSE dan juga oleh pengelola situs.

Bahkan, orang awam pun bisa mendapati sejumlah situs berekstensi .go.id yang memiliki keamanan buruk. Salah satunya, Komnasham.go.id

Seperti dalam Data Bocor Lagi, Kominfo Jangan Seperti Pemadam Kebakaran situs komnasham.go.id hanya mendapatkan skor F atau skor terendah menurut SecurityHeader.com. Skor F ini menunjukkan keamanan situs milik Komnas Ham ini sangat keropos. Buruknya keamanan situs seperti komnasham.go.id sangat aneh kerena hanya dengan menggunakan plugin gratisan saja, skor yang didapat minimal D.

Sumber: Dok Pri
Sumber: Dok Pri

Bukan hanya Komnasham.go.id, situs Dahana.id yang merupakan perusahaan BUMN pun diketahui tidak memasang atau mampu menyeting Secure Sockets Layer (SSL) dengan baik dan benar.

Dari keabaian dan ketidakpedulian PSE dan pengelola situs dalam mengelola sistem keamanannya inilah seharusnya kemunculan Bjorka dan aktivitas peretasannya dianggap sebagai blessing in disguise.

Terlebih, menurut rencana pada bulan ini, September 2022, Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi akan disepakati oleh DPR RI dan pemerintah. 

Dan sebelum RUU PDP ditetapkan sebagai UU PDP oleh Presiden RI alangkah baiknya bila peristiwa peretasan oleh Bjorka dijadikan sebagai momentum bagi PSE, pengelola website, Kominfo, BSSN, dan pihak-pihak lainnya untuk segera membenahi sistem keamanan sibernya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun