Kemudian, dalam Pasal 40 menyatakan, "Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun." Dan, barang siapa yang melanggarnya dapat dipidana dengan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.
Aktivitas hacking yang dilakukan Bjorka dapat dikategorikan sebagai kegiatan penyadapan. Pasalnya, hacker yang mengaku berdomisili di Warsawa, Polandia ini melakukan perekaman atau pencatatan dokumen elektronik dengan menggunakan jaringan nirkabel.
Dari kacamata hukum, Bjorka dan hacker-hacker lainnya adalah penjahat. Karena mereka telah melanggar hukum dan merugikan masyarakat.
Dari kacamata hukum pula, Bjorka dan hacker-hacker lainnya tidak ubahnya Julian Assange yang mencuri informasi rahasia pemerintah Amerika Serikat lalu mempublikasikannya melalui situs WIkiLeak.org. Assange saat ini telah ditangkap dan ditahan oleh pemerintah Inggris dan akan diekstradisi ke AS.Â
Beda dari Kominfo, Masyarakat Anggap Bjorka Pahlawan
Dari kacamata hukum, Bjorka memang penjahat, tetapi tidak dari kacamata sos. Dari kacamata sosial atau apapun istilahnya, Bjorka adalah pahlawan.
Bjorka dianggap pahlawan karena dengan caranya ia menunjukkan keberaniannya melawan kekuasaan.
Dalam negara demokrasi, penguasa head to head dengan rakyat. Karena itulah konstitusi membentuk parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam menghadapi kekuasaan.
Lewat posisinya sebagai rakyat, Bjorka melawan kekuasaan dengan membuktikan kelemahan-kelemahan penguasa dalam melindungi data pribadi rakyatnya.
Seperti halnya Julian Assange yang dielu-elukan dan dipahlawankan oleh masyarakat dunia karena berani melawan hegemoni Amerika Serikat atas negara-negara lainnya, begitu juga dengan Bjorka.
Aksi peretasan Bjorka memang masih kalah jauh dibanding Assange. Aksi Bjorka malah terbilang picisan karena korbannya adalah masyarakat. Masyarakat yang datanya diumbar Bjorka inilah yang kemudian menanggung akibatnya.
Dirugikan oleh aksi Bjorka, masyarakat bukannya tidak menyadarinya. Hanya saja, masyarakat sudah kelewat geram karena kebocoran data terus berulang, bahkan menjadi semakin masif. Â Anehnya, makin maraknya kebocoran data ini justru terjadi setelah Badan Siber dan Sandi Negara didirikan pada 2017 dan diperkuat pada 2021 lewat Perpres 28/2021.