Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PSE Kominfo: Belajar dari Tewasnya "The Dark Prince" Michael D'Andrea

4 Agustus 2022   18:58 Diperbarui: 4 Agustus 2022   19:07 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PSE Kominfo masih disorot tajam. Drone Emprit yang memantau percakapan pada platform Twitter dari 19 sampai 30 Juli 2022 mengungkapkan 92 persen warganet memberikan sentimen negatifnya pada PSE Kominfo.

Mendominasinya sentimen negatif hingga mencapai 92 persen merupakan hal yang wajar. Salah satu penyebabnya karena Kominfo sendiri kurang menyosialisasikan Peraturan Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 kepada pengguna internet. 

Terhitung isu PSE Kominfo ini baru mencuat pasca 24 Juni 2022. Padahal Permenkominfo 5/2020 sudah diundangkan sejak 24 November 2020 dan SAFENet sudah melayangkan protesnya sejak awal 2021.

Permen Kominfo 5/2020 beserta PSE Kominfo-nya memang memiliki dua sisi mata uang. Dari sisi positif bisa lahir puluhan artikel yang mendukungnya. Begitu juga dari sisi negatifnya. 

Jika menyaksikan podcast Deddy Corbuzier yang diunggah lewat YouTube pada 3 Agustus 2022, terbaca jika Menkominfo Johnny G Plate sangat menyadari adanya dua sisi mata uang pada produk hukum yang ditandatanganinya ini.


Proxy War: This is Another War

Ada tiga kata kunci menarik yang beberapa kali diucapkan oleh Menkominfo Johnny G Plate podcast tersebut. Tiga kata kunci tersebut adalah "proxy war", cyber war", dan "propaganda".

Kebetulan ketiganya sudah menjadi salah satu tema yang menjadi sorotan sejak 2015. Salah satunya lewat "Proxy War yang Diingatkan Jenderal Gatot Nurmantyo Ada di Depan Mata, Pelaku dan Polanya Seperti di Suriah dan Libya"Jadi, sebelum netizen ribut-ribut "suriahisasi" Indonesia pada 2018 yang digongi oleh pernyataan Gatot Nurmantyo pada 

Saat ini yang lebih menjadi kekhawatiran saya, rakyat ini terbelah sejak 20 mei 2014 hingga saat ini. Saat ini rakyat sedang terkotak-kotak.

Saat ini yang lebih menjadi kekhawatiran saya, rakyat ini terbelah sejak 20 mei 2014 hingga saat ini. Saat ini rakyat sedang terkotak-kotak.

Ini adalah lampu kuning dan sudah mulai ada menggunakan rakyat mengadu dengan rakyat. Saya khawatir peristiwa di Syria bisa terjadi di negara kita.


Gatot Nurmantyo memang telah menyoroti isu proxy war sejak memegang tongkat komando Pangkostrad pada 2013-2014. Namun, mantan Panglima TNI ini baru mengungkapkan ada kemiripan peristiwa sebelum pecahnya konflik di Suriah dengan keadaan di Indonesia pada Agustus 2018.

Situasi pra-konflik di Suriah dan di Libya diawali isu-isu anti-penguasa yang disemburkan oleh organisasi-organisasi Islam garis keras. Sebenarnya, di Suriah sendiri nyaris tidak terjadi isu konflik Sunni-Syiah. Terjadinya konflik Sunni-Syiah justru berkembang di luar Suriah. 

Hizbut Tahrir yang bermarkas di London diketahui sebagai pusat operasi penyebaran propaganda konflik Sunni-Syiah. Propaganda ini kemudian diviralkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia di Indonesia.

Sedangkan di Libya tidak terjadi konflik sektarian, yang ada hanya anti-rezim Khadafi. Namun, sebagaimana di Suriah, Hizbut Tahrir pun bermain sebagai corong propaganda anti-Khadafi.

ika diamati, kondisi di Indonesia jauh lebih parah dari di Suriah dan Libya. Karena, selain isu anti-pemerintah Jokowi, di Indonesia juga dikembangkan isu-isu yang dibalut dengan agama. Bahkan, kasus kematian Brigadir J pun dikaitkan dengan latar belakang agama. Karenanya, di Indonesia ini ada HTI, ada juga "HTI" alias HTI yang Tertukar.

Sebagai opini, baik propaganda yang disemprotkan oleh HTI dan "HTI" tidak bisa dilarang. Namun demikian, propaganda keduanya yang berakar dari proxy war wajib dilawan.

Proxy war mustahil jika hanya ada satu "tangan yang bertepuk". Untuk berbunyi, diciptakanlah "dua tangan": HTI dan "HTI".

"Proxy war game," kata Menkominfo Johnny G Plate kepada Deddy Corbuzier. Menurut Johnny saat ini tengah terjadi proxy war game yang tidak disadari oleh kedua pihak yang bertarung. Ditambahkan Johnny Plate, proxy war game ini digunakan oleh asing demi kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya.

PSE Kominfo: Belajar dari Kematian Michael D'Andrea

Kepada Menkominfo Johnny G Plate, Deddy Corbuzier mengatakan ada aplikasi tertentu dari negara tertentu yang memiliki algoritma yang berbeda dari algoritma yang diperuntukan untuk negara-negara lain. Deddy pun melanjutkan algoritma yang di-push ke negara-negara lain tersebut bersifat negatif.

"Ini sebenarnya propaganda," tandas Deddy.

Deddy benar. Pada 2009 Iran menjadi korbannya. Ketika itu, Youtube mem-push video-video yang berisikan konten tentang kematian Neda Agha Soltan. Sebaliknya, YouTube menghapus konten-konten yang meluruskan hoax kematian Neda.

Itulah "another war" yang dimaksud Deddy.

Another war inilah yang saat ini menjadi perhatian Kominfo. Untuk itu, Kominfo mewajibkan perusahaan penyelenggara sistem elektronik mendaftar ke PSE Kominfo. Tujuannya agar Indonesia dapat lebih menguasai kedaulatan digital di wilayahnya.

Terkait PSE Kominfo ini, ada satu peristiwa di tahun 2020 yang menarik untuk dipikirkan.

Tewasnya Komandan IRGC Iran Mayjen Qassem Soleimani yang dirudal oleh Drone MQ-9 Reaper milik Amerika Serikat pada 3 Januari 2020 masih memanasi headline media massa. 

Dua puluh empat hari kemudian sebuah Bombardier E-11A AS, yang menyediakan komunikasi pasukan di bagian kawasan terpencil bersalju di Ghazni, Afghanistan, wilayah yang berada di bawah kendali Taliban. 

Video pesawat yang membara itu segera diposting ke media sosial oleh saksi mata, Taliban dengan cepat mengklaim bertanggung jawab atas penembakan tersebut

"Banyak perwira senior yang tewas," ungkap Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban di Afghanistan mengirim email kepada TIME.


Media Iran, Rusia, dan tentu saja China kompak melaporkan bahwa Michael D'Andrea, kepala Pusat Misi Iran CIA, berada di atas pesawat yang ditembak jatuh tersebut. Begitu juga dengan media-media besar asal Inggris, seperti The Daily Mail dan The Independent.

Sebaliknya, pejabat AS bersikeras mengatakan tidak ada seorang pun anggota CIA yang berada di dalam pesawat. Kepada TIME, Pentagon mengkonfirmasi hanya ada dua perwira Angkatan Udara di pesawat. Sementara, CIA menolak mengomentari apakah D'Andrea atau personel CIA lainnya ada di dalamnya.

Michael D'Andrea dikenal sebagai The Dark Prince dikenal juga dengan julukan Ayatollah Mike setelah memutuskan pindah agama. Konon, sebelum bertugas di Iran atas perintah Mike Pompeo, perwira senior CIA ini ditugasi mengawasi perburuan Osama bin Laden.

Bagi AS, Iran merupakan salah satu target tersulit. Di negara itu, akses CIA sangat terbatas karena Dinas Intelijen Iran terus menggelar operasi kontra intelijen terhadap agen-agen AS.

Karenanya, informasi tentang kematian The Dark Prince oleh rudal Taliban merupakan pukulan berat bagi mental CIA. Sebab, rute, jadwal, penumpang pesawat Bombardier E-11A sangat dirahasiakan. Dengan ditembak jatuhnya pesawat tersebut, artinya top secret CIA telah bocor. Bahkan cocor sampai milisi Taliban di kawasan yang terpencil.

Peran propaganda dengan beramunisikan "Kematian The Dark Prince Michael D'Andrea ini dimenangkan secara telak oleh Iran dan sekutu-sekutunya. Di medan perang informasi ini, lagi-lagi Amerika kalah telak.

Dalam A U.S. Plane Crashed in Afghanistan. Why So Many Believed a CIA Chief Was On It. TIME mencoba mengupas tuntas kekalahan AS dalam perang propaganda terkait kematian agen intelijennya. 

Amerika Serikat yang kalap kemudian memerintahkan Facebook dan Instagram kembali menghapus konten-konten terkait kematian Michael D'Andrea. Pemberangusan oleh Facebook tersebut mendapat penentangan dari sejumlah kalangan di AS dan dunia. Namun Facebook tetap bergeming.

Kepada BBC, Jubir Facebook mengatakan, "We review content against our policies and our obligations to US sanctions laws."

Patut direnungkan, Amerika Serikat tempat Facebook, Instagram, Twitter, dan berbagai platform media sosial lainnya berbasis saja sampai kalah dalam perang propaganda, Bagaimana dengan Indonesia?

Karena itulah, di satu sisi, kewajiban pendaftaran PSE Kominfo memiliki sisi positif yang patut mendapat dukungan.

PSE Kominfo: Bagian Sistem Pertahanan Negara Non-Militer

Dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman, baik ancaman militer maupun non-militer. 

Sementara, menurut Pasal 7 UU No 3/2002, "Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa".

Cyber war atau perang dunia maya telah menjadi front perang baru. Perang di medan maya ini juga, termasuk perang propaganda di dalamnya, disebut-sebut sebagai " the fifth dimension of warfare', setelah darat, laut, udara, dan ruang angkasa.

Bahkan, pada Oktober 2009, Toure Hamadoun yang kala itu menjabat Secretary General of the International Telecommunication Union (ITU) telah mengingatkan bahwa cyber war akan menjadi perang dunia di masa mendatang. Prediksi pria kelahiran Mali pada 1953 itu tidak salah. Karena faktanya, serangan cyber secara terbatas telah terjadi berulang kali dialami oleh beberapa negara, termasuk di Indonesia. 

Dalam rangka meningkatkan pertahanan digitalnya, sejumlah negara telah memiliki unit khusus yang berisikan pasukan siber. Amerika Serikat misalnya, telah mengoperasikan United States Cyber Command (US CYBERCOM) sejak 2009.

NATO lebih dulu membangun pertahanan cybernya pada 2008. Unit yang diberinama NATO Cooperative Cyber Defense Centre of Excellence (NATO CCD COE) bermarkas di Estonia.

Indonesia sendiri telah mendirikan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada 2017.

Untuk mengokohkan benteng cyber-nya, Kominfo juga giat membangun infrastruktur digitalnya. Salah satunya tertuang dalam Roadmap Indonesia Digital yang memiliki lima inisiatif.

Inisiatif pertama, peningkatan jaringan 4G di kawasan 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), Kedua, peluncuran jaringan 5G termasuk fiberisasi.  Ketiga, perluasan akses internet dan penyebaran perangkat pendukung di lokasi-lokasi pelayanan publik. Keempat, pemanfaatan digital dividen 112 MHz. Dan, inisiatif yang kelima adalah pembangunan Pusat Data Nasional dan Whole-of-Government Cloud. 

Dan, Permen Kominfo beserta PSE Kominfo merupakan bagian dari upaya negara dalam upaya pengembangan sistem pertahanan cyber-nya. Untuk lebih menguasai platform-platform digital yang beroperasi di wilayah kedaulatan NKRI inilah, Kominfo mewajibkan perusahaan-perusahaan penyelenggara sistem elektronik untuk mendaftarkan diri platform-nya.

PSE Kominfo Bukan Mata-mata PRISM yang Telanjangi Pengguna Internet

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun