Aturan PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) Kominfo melahirkan beragam sanksi administratif bagi penyedia platform digital.Â
Dalam PSE Kominfo yang dituangkan lewat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 itu terdapat pasal yang menyatakan jika dalam waktu 1 X 24 jam PSE tidak menghapus (takedown) konten yang dinilai melanggar "ketentuan", maka PSE tersebut akan dikenai sanksi berupa pemutusan akses.
Terbayang betapa repotnya karyawan PSE jika dalam setiap harinya mendapat surat dari Kominfo. Kemudian, karyawan PSE tersebut menghapus satu persatu konten yang oleh Kominfo dianggap bermasalah.
Hoax Kematian Neda Agha Soltan
Tampak sesosok tubuh yang tergeletak di badan jalan. Darah segar membasahi hidung, mulut, dan matanya. Kedua mata gadis cantik itu masih membuka tajam saat kamera yang merekamnya mendekat.
Itulah salah satu rekaman video itu yang viral lewat YouTube, Facebook, dan Twitter. pasca-aksi unjuk rasa menolak hasil Pilpres Iran yang berlangsung di Teheran, Iran, pada 12 Juli 2009.
Gadis yang terekam video itu disebut-sebut bernama Neda Agha Soltan.
Video kematian Neda itu telah meledakkan kemarahan rakyat Iran. Keesokan harinya puluhan kota di Iran dipenuhi massa yang turun ke jalan. Bukan saja di Iran, di sejumlah kota Eropa dan Amerika Serikat berlangsung aksi serupa.
Situasi politik, geopolitik, dan kebijakan nuklir Iran turut memanaskan aksi massa.
Di kota-kota di Iran, massa yang marah melakukan aksi pembakaran. Chaos menjalar dari ibu kota Teheran ke kota-kota lainnya.Â
Jika saja ketika itu pemerintah Iran gagal meredamnya, besar kemungkinan Iran menjadi negara pertama yang mengalami Arab Spring.
Ternyata, gadis pada video bukanlah Neda Agha Soltani. Neda tidak terbunuh. Ia masih hidup hingga kini. Dan, pada 14 November 2012, BBCÂ mempublikasikan hasil wawancaranya dengan Neda.
Video kematian Neda adalah hoax. Sosok gadis yang terkapar di jalanan bukanlah Neda melainkan boneka plastik.
Dari penelusuran lewat mesin pencari Google ditemukan sejumlah konten yang berupaya meluruskan informasi tentang kematian Neda. Tapi segala upaya tersebut kalah oleh viralnya video kematian Neda.Â
Tidak hanya itu, konten-konten pelurusan informasi seperti yang diunggah oleh akun Detective Monk pada 29 Juni 2009 justru di-takedown oleh otoritas YouTube.
Peran YouTube yang menghapus konten-konten berisi fakta kematian Neda Agha Soltan dan membiarkan hoax kematiannya bisa dikatakan sebagai aktivitas politik yang merupakan pelanggaran atas kedaulatan negara Iran.
Pemerintah Indonesia pun tentu tidak mau jika kedaulatan negaranya diobok-obok oleh PSE, seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan lainnya. Terlebih jika perbuatan perusahaan PSE asing tersebut dapat menciptakan kerawanan keamanan nasional.
Dari peristiwa kematian Neda yang menciptakan chaos inilah sisi positif dari PSE Kominfo bisa diambil. Sayangnya, sisi positif ini tidak mendapat sorotan publik.
Tanpa PSE Kominfo pun Ber-Sosmed sudah tak Bebas Â
Permintaan Kominfo kepada PSE untuk menghapus konten juga disebut-sebut sebagai upaya pemberangusan kebebasan berpendapat, kebebasan bersuara, dan kebebasan berekspresi, dan kebebasan-kebebasan lainnya.
Pertanyaannya, benarkah platform-platform seperti YouTube, Facebook, Twitter, dan lainnya mengenal kebebasan-kebebasan tersebut?
Minggu, 9 Februari 2020 atau pasca-terbunuhnya Komandan IGRC Mayjen Qassem Soleimani, Facebook dan Instagram mulai melakukan pemberangusan terhadap akun-akun yang dianggap mendukung pemerintah Iran. Â
Tiga hari kemudian Facebook mengumumkan kembali menghapus 78 akun, 11 laman, 29 grup. Kali ini, pemblokiran tersebut dilakukan lantaran Facebook mencium adanya aktivitas intelijen Rusia dan Iran pada platform media sosial yang dikelolanya.
Facebook beralasan, akun-akun tersebut sebagai dukungan terhadap IRGC yang oleh Presiden AS Donald Trump distempel "Teroris". Karena itulah, berdasarkan undang-undang yang berlaku di AS, Facebook wajib menutup akun-akun yang dianggap sebagai pendukung IRGC.Â
Jika Facebook memblokir akun, Twitter hanya melakukan takedown terhadap konten yang dianggap mendukung IGRC dan Qassem Soleimani. Salah satu yang dihapus adalah ciutan aktor Robert de Niro yang diunggah pada 8 Januari 2020.
"Just 4 years ago, CNN correctly praised #Soleimani for being the driving force defeating ISIS.
Today Neocons call him a "terrorist" with zero evidence to sell another disastrous War & expect you to believe them without question," ciut De Niro dengan menyertakan tagar #IranvsUSA #IranAttacksÂ
Pemberangusan berlanjut. Pada 24 Januari 2020, domain FarsNews.com milik Fars News Agency diblokir.
Belakangan, terkait perang Rusia vs Ukraina, Facebook memblokir akun-akun yang dianggap menjadi corong propaganda Rusia.Â
(Kebetulan, akun pertama penulis diblokir Facebook karena dianggap mendukung IRGC yang mendapat stempel teroris dari pemerintah AS. Dan, akun Facebook terbaru penulis juga diblokir hanya dua hari setelah mengunggah video "Nenek Babushka Z" yang dianggap sebagai alat propaganda Rusia.)
Dari peristiwa pemblokiran ribuan akun Facebook dan penutupan akses situs berita FarsNews, juga penghapusan cuitan oleh Twitter, dapat disimpulkan jika langkah tersebut dilakukan demi kepentingan nasional AS.
Artinya, segala macam kebebasan di media sosial dapat dikalahkan atau berada di bawah kepentingan nasional AS.
Begitu juga dengan PSE Kominfo. Penghapusan konten sampai pemblokiran akun media sosial dan lainnya dilakukan oleh negara demi kepentingan nasionalnya. Dan, kepentingan nasional pasti lebih tinggi kedudukannya dari kepentingan pribadi atau kelompok.Â
Dengan alasan kepentingan nasional, maka permintaan Kominfo kepada PSE untuk menghapus konten-konten yang dianggap bermasalah dapat diterima oleh akal sehat.
PSE Kominfo Bukan Mata-mata PRISM yang Telanjangi Pengguna Internet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H