Halius pun mempertanyakan proses penyelesaian penyidikan dan pra-penuntutan yang selama ini dipegang teguh sebagai acuan institusi kejaksaan.
Dari Jiwasraya ke Asabri
Pendapat Abdul Fickar dan Halius Hosen tentang ketidakprofesionalan jaksa dalam perkara korupsi Jiwasraya di atas pastinya sulit dicerna oleh masyarakat awam. Sebaliknya, awam pasti dengan mudah menangkap ketidakprofesionalan jaksa dalam kasus korupsi PT Asabri.
Dalam perkara korupsi Asabri, awam dapat dengan mudah membaca adanya perbedaan antara pasal yang dituntutkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) dan pasal yang didakwakan oleh JPU.
Dalam perkara korupsi Asabri, pada 16 Agustus 2021 JPU mendakwakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 kepada Heru Hidayat. Tetapi, pada 6 Desember 2021, JPU menuntut Heru dengan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Perbedaan pasal yang dituntut dengan pasal yang didakwakan tersebut kemudian mengusik sejumlah guru besar hukum pidana angkat suara. Para guru besar yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi itu kompak mengecam JPU.
Jika pada perkara korupsi PT JIwasraya saja Halius Hosen sudah mengungkapkan rasa malunya, sulit membayangkan komentarnya bila ia diwawancarai media terkait  perbedaan antara tuntutan dan dakwaan JPU dalam kasus korupsi Asabri.
Dissenting Opinion Hakim Mulyono yang Tak Mengejutkan
Dissenting opinion Hakim Mulyono yang mengatakan Rp 22,7 triliun sebagai potential loss sebenarnya sudah tidak mengejutkan lagi. Sebab, saat persidangan perkara korupsi Jiwasraya, media ramai memberitakan tentang kerugian negara Rp 16,8 triliun yang sejatinya merupakan potential loss.
Ketika itu, bahkan media menyuarakan tentang kekhawatiran pasar apabila potential loss yang dialami Jiwasraya dinyatakan sebagai kerugian negara. Karena selama saham tersebut masih berada di portofolio atau tidak atau belum dijual, tidak bisa dinyatakan kerugian.Â
Potential loss atau yang kerap disebut juga unrealized loss adalah hal yang wajar terjadi di tengah tingkat volatilitas harga di pasar yang dinamis pada jangka pendek. Dan, para pelaku pasar saham paham betul bila mengalami unrealized loss atau potential loss, mereka tidak akan menjual sahamnya dulu. Hal sebaliknya bila terjadi unrealized profit
Jika potential loss dapat diperkarakan, maka akan banyak pejabat BUMN yang terjerat kasus korupsi. Itulah yang menjadi salah satu alasan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.Â
Dalam putusan yang dikeluarkan pada 25 Januari 2016 tersebut, MK mencabut frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Â