Dissenting opinion Mulyono Dwi Purwanto dalam perkara korupsi PT Asabri benar-benar telah membuka mata publik. Dissenting opinion dalam kasus ini telah dua kali disampaikan oleh Hakim Mulyono dalam dua sidang vonis yang berbeda. Namun demikian, perkara korupsi Asabri masih menyisakan satu sidang vonis lagi.
Hakim Mulyono bakal Cetak Hattrick Dissenting Opinion
Dalam dissenting opinion yang disampaikannya dalam pembacaan vonis pada 4 dan 5 Januari 2012, Mulyono menegaskan bahwa Rp 22,7 triliun yang disebut-sebut sebagai kerugian negara dalam perkara korupsi PT Asabri, potential loss bukan actual loss.
Pada 4 Januari 2022, dissenting opinion disampaikan Hakim Mulyono dalam persidangan dengan terdakwa Dirut ASABRI 2011-2016 Adam Rahmat Damiri, Dirut ASABRI 2016-2020 Soni Widjaya, mantan Direktur Investasi ASABRI Hari Setiyanto dan mantan Direktur Keuangan Asabri Bachtiar Effendy.
Pada keesokan harinya, Hakim Mulyono kembali menyampaikan dissenting opinion-nya. Pada hari itu, dissenting opinion dibacakan dalam sidang dengan terdakwa Direktur Utama PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi dan Direktur Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo.
Selanjutnya, sesuai yang telah dijadwalkan, perkara korupsi PT Asabri akan kembali digelar pada 18 Januari 2022. Pada hari itu terdakwa Heru Hidayat akan menerima vonis dari majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta.
Sebagaimana yang diinformasikan media, dalam perkara korupsi PT Asabri, majelis majelis hakim diketuai oleh IG Eko Purwanto. Sementara Saefudin Zuhri, Rosmina, Ali Muhtarom, dan  Mulyono Dwi Purwanto duduk sebagai anggotanya.
Selain menjadi anggota majelis hakim, Ali Muhtarom dan Mulyono Dwi Purwanto juga merupakan hakim ad hoc tipikor.
Dari kelima anggota majelis hakim tersebut, hanya Mulyono yang berani menyatakan perbedaan pendapatnya atau dissenting opinion.
Hakim Mulyono Benar dengan Dissenting Opinion-nya
Dissenting opinion Hakim Mulyono benar adanya. Sebab, pendapat Hakim Mulyono sesuai  Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Berdasarkan putusan yang diterbitkan pada 25 Januari 2016 itu, Mahkamah Konstitusi mencabut frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Â
Menurut MK, kata 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, kata "dapat" juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.